31

970 123 0
                                    


.
.
.
.
.
Sudah satu minggu sejak Dane keluar dari rumah sakit jiwa, selama satu minggu pula hampir setiap hari Edzard selalu mengajak Dane keluar, membiasakan pemuda itu untuk bertemu orang baru. Dan sepertinya cara itu berhasil, saat ini Dane sudah tidak lagi takut jika bertemu orang lain. Hari ini Edzard kembali mengajak Dane untuk keluar, hanya sekedar berjalan-jalan ketaman.

"Kak Mars." Edzard menatap Dane saat pemuda itu memanggilnya.

"Ada apa?" Dane menggeleng.

"Cuma mau manggil aja." Edzard tersenyum, pemuda itu mengacak rambut Dane.

"Kak, aku kangen Hadar." Edzard kembali menatap Dane, pemuda itu terlihat nunduk, dia pasti sangat merindukan adiknya.

"Kamu mau aku antar kesana?" Dane menggeleng kuat, Edzard yang melihat itu merasa aneh, Dane rindu tapi tidak mau bertemu.

"Katanya kangen?" Dane tetap menggeleng, Edzard menghela nafas.

"Kenapa? mau cerita?" Dane mengangguk ragu, membuat Edzard membulatkan matanya. Dane ingin bercerita tentang keluarganya.

"Tapi dirumah." Edzard mengangguk, ini sebuah kemajuan bukan.
.
.
.
.
.
Edzard mendengarkan cerita Dane dengan seksama, saat ini mereka ada di kamar Edzard, ada Luthfi juga disana. Edzard memeluk Dane yang tubuhnya masih gemetar, sambil membisikan kalimat penenang. Trauma Dane muncul meskipun hanya bercerita tentang keluarganya. Edzard jadi penasaran sekejam apa perlakuan mereka pada pemuda mungil itu, dan lagi Edzard jadi ingin mempertemukan Dane dengan Hadar.

"Bang, bang Dane tidur ya?" Edzard melepaskan pelukannya dan merebahkan tubuh mungil Dane diranjangnya.

"Iya, kemajuan karena dia udah gak histeris dan pingsan kayak dulu." Luthfi mengangguk, dia senang dengan perkembangan Dane.

"Bang Edzard, lo suka ya sama bang Dane?" Edzard menatap Luthfi dengan alis terangkat.

"Masih nanya?" Luthfi tertawa, dia sudah tau pasti jawaban Edzard.

"Lo sendiri gimana?" Luthfi mengernyit, memangnya dia kenapa.

"Lo sama Vano." Luthfi sedikit mencibir saat mendengar nama Vano.

"Biasa aja bang, kan cuma temen."

"Oh udah jadi temen nih?" Edzard memainkan alisnya naik turun, menggoda Luthfi.

"Apaan sih bang!"
.
.
.
.
.
Andra sedang terduduk dibelakang pintu kamarnya, pemuda itu menenggelamkan wajahnya pada lututnya. Samar terdengar suara tangisan dari bibirnya, ya Andra sedang menangis saat ini. Dia masih bisa mendengar suara makian yang saling dilontarkan oleh kedua orang tuanya, Andra lelah mendengar pertengkaran mereka, ingin menghentikan tapi nanti justru dia yang jadi korban.

Brak....brak...

Suara pintu kamar Andra digedor kasar dari luar, Andra tau itu ayahnya, Andra tidak ingin membukanya karena jika itu terjadi maka tubuhnya yang akan menjadi pelampiasan, tapi jika tidak dibuka maka pintu kamarnya akan terus digedor. Andra meraih buru-buru meraih hpnya, mengirim sebuah pesan pada Luthfi, berharap sepupunya itu segera datang.

"HEI, BUKA PINTUNYA SIALAN!"

"DASAR ANAK SIALAN, SAMA AJA KAYAK IBU NYA, BUKA."

Brak...brak...brak..

Andra dapat menengar suara teriakan ayahnya disertai gedoran yang tidak kunjung henti dipintu kamarnya. Andra menutup telinganya, dia tidak peduli jika dia dimaki orang lain, tapi dia tidak ingin mendengar makian dari mulut orang tuanya.

"Luthfi...San..." Andra bergumam lirih, dia berharap kedua orang itu akan menolongnya.

Brak ..brak...

Still HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang