15

1K 141 5
                                    


.
.
.
.
.
San sudah berdiri didepan rumahnya, tapi ntah kenapa dia ragu untuk melangkah masuk, bukan apa, dia hanya tidak tau apa yang akan dia katakan pada ayah dan bundanya. San memang mengatakan dia tidak percaya bahwa Dane sudah meninggal, tapi sejujurnya dia ingin menangis, hatinya sakit sejak mendengar kabar itu. Tapi dia tidak bisa menangis didepan kedua sahabatnya, mereka cukup terpukul oleh berita itu, dan dia ingin menjadi orang yamg menyemangati mereka.

Setelah hampir 15 menit dia habiskan untuk berdiri didepan pintu rumahnya, San memutuskan masuk. Dia perlu kamarnya untuk mengeluarkan segala hal yang membuat hatinya sakit, San ingin menangis.

Cklek

San melihat sekeliling rumahnya, sepi. Sepertinya bundanya sedang berada dikamarnya, atau sedang ada dihalaman belakang. San mengambil kesemoatan itu untuk segera pergi kekamarnya, dia tidak siap jika harus menjawab pertanyaan bundanya.

Brak

San menutup pintu kamarnya, melemparkan tasnya sembarangan, melompat keranjang dan menenggelamkan wajahnya pada bantal. Samar terdengar isakan demi isakan dari San. Pemuda yang terlihat kuat dihadapan Andra dan Gibran sejak mereka menerima kabar itu, akhirnya runtuh.

San mengeluarkan tangisnya sendirian, dia ingin memangis hari ini, membiarkan sesak dihatinya lepas dan berkurang, agar esok dia bisa menjadi San yang kuat lagi.

Cklek

"San, kok udah pulang? mana gak kasih salam dulu waktu masuk rumah." San mendengar suara bundanya setelah suara pintu terbuka, sedikit meruntuk kenapa tadi dia tidak mengunci pintunya.

"San, kenapa?" bunda manda yang menyadari San tidak menjawabnya, berjalan mendekati ranjang, beliau bisa mendengar tangis anak tunggalnya itu.

"Sayang, hei, ada apa? sini cerita sama bunda." bunda manda mengelus kepala San, hal itu membuat San bangkit kemudian memeluk bundanya.

"Bunda hiks." bunda manda mengelus punggung San, berusaha menenangkan San yang terisak.

"Ada apa?" San menggeleng, dia belum bisa menceritakannya, dia harus tau kebenarannya terlebih dahulu.

"Biarin gini dulu bun, biarin San nangis hari ini, biar besok San bisa jadi kuat lagi." bunda manda tidak bisa memaksa anaknya untuk bercerita tentang apa yang terjadi, hingga membuat anak laki-lakinya itu menangis.

"Ya udah, tapi jangan lama-lama nangisnya, nanti matamu bengkak, terus kamu jadi jelek." San masih terisak, meskipun pelan.

"Kalau kamu jelek nanti Andra gak mau sama kamu loh." San langsung menghentikan tangisnya, dia melepas pelukan bundanya.

"Gak gitu juga bun." bunda manda tersenyum, ini baru putranya.

"Kamu istirahat aja, nanti kalau makan malam bunda panggil." San mengangguk saat bundanya pergi keluar kamar. Sepertinya tidur sebentar tidak masalah, dia mengantuk setelah menangis.
.
.
.
.
.
Luthfi membuka pintu kamarnya, dia melihat Andra masih bergelung nyaman, sepertinya anak itu sangat lelah, tapi dia perlu makan, dengan terpaksa Luthfi membangunkan Andra, lqgi oula sebentar lagi Luthfi harus keluar, Edzard mengajaknya bertemu.

"Andra bangun." Luthfi membangunkan Andra dengan cara memencet hidungnya, sepertinya itu memang cara orang terdekat Andra untuk membangunkannya.

"Ada apa sih Fi, gue kan masih ngantuk." Andra hanya meregangkan tubuh nya lalu kembali bergelung didalam selimut.

"Makan dulu sana, habis itu tidur lagi." Andra bergumam.

"Gue mau keluar sebentar ini, lo mau gue bawain apa nanti?" Andra langsung menghadap Luthfi yang berdiri disisi kanannya.

Still HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang