24

1K 128 0
                                    


.
.
.
.
.
Suasana cafe tempat ketujuh pemuda itu berkumpul, mulai terlihat semakin ramai, beruntung meja mereka terletak diujung, jadi tidak terlalu banyak yang memperhatikan mereka.

Luthfi menghela nafas, di menatap kelima pemuda dihadapannya, menunggu siapa yang akan membuka suara untuk bercerita tentang Dane.

"Apa tidak ada yang mau bercerita?" kelimanya serempak menatap Luthfi, yang sudah kembali melahap potongan chesse cake nya.

"Apa yang harus kami ceritakan, masing-masing kami memiliki cerita yang berbeda jika tentang bang Dane." Edzard yang mendengar ucapan San mengangguk, dia menatap pemuda yang lebih muda darinya itu.

"Bagaimana jika kalian ceritakan apa yang terjadi tiga tahun lalu?" Luthfi sontak menatap Edzard dengan pandangan bertanya.

"Lo yakin bang?" Edzard mengangguk, kemudian menepuk tangan Luthfi pelan. Hal itu tidak luput dari kelima pasang mata yang sedari tadi memperhatikan mereka.

"Kalu gitu biar gue aja yang cerita soal kejadian tiga tahun lalu." Gibran membuka suara, membuat semua yang ada dimeja itu memandang kearahnya.

"Ceritakan kalau lo mampu, tapi kalau lo gak mampu jangan dipaksa." Gibran menganggukan kepalanya, dia menatap Edzard sejenak, dia merasa sedang melihat Dane dari tiga tahun lalu.

"Tiga tahun lalu..."

Flashback

"Bang." Gibran yang sedsri tadi asik berguling-guling di lantai rumah Dane mulai mengeluarkan suara.

"Lo manggil siapa?" Aldi yang sedang fokus pada novel yang sedang dia baca, menyahuti panggilan tidak jelas Gibran.

"Manggil kalian lah, emang siapa lagi." Gibran sedikit meninggikan suaranya, membuat Aldi yang sibuk membaca menutup novelnya dan mulai memperhatikan Gibran. Vano, San, dan Andra yang sedang bermain game pun menghentikan permainannya, bahkan Dane yang berada didepan rumah karena menerima telpon pun segera masuk kedalam.

"Ada apa?" Dane menatap semua sahabatnya, sedangksn yang ditatap hanya mengedikan bahunya dan menunjuk kearah Gibran.

"Gibran tuh bang." Dane beralih menatap Gibran, yang menampilkan wajah kesal.

"Ada apa Bran?" Dane mendudukan tubuhnya disebelah Gibran, menepuk paha sahabat bontotnya itu.

"Kalau cuma bilang gabut gue gaplok lu Bran." Dane mendelik kearah Vano, membuat pemuda tinggi itu meringis salah tingkah.

"Maaf bang." Dane kembali fokus pada Gibran saat Vano mengucap maaf.

"Ayo liburan bang, bosen nih." mendengar kata liburan, mata keempat pemuda disana berbinar.

"Ayo, mau liburan dimana?" Vano menjawab paling cepat dibanding yang lain.

"Bali yuk bali, gimana?" San memberi saran.

"Jogja aja lah, ya ya ya."

"Jangan jauh-jauh lah, capek, puncak aja."

"Masa cuma kepuncak sih, gak seru." saat semua sibuk memberi saran dan mengatakan tujuan liburan, Dane justru hanya terdiam dan memandang mereka, pemuda itu tersenyum. Andra yang melihat kediaman Dane, akhirnya bertanya pada pemuda itu.

"Bang Dane pingin kemana?" Dane mengerjap, dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.

"Nah iya, gimana kalau bang Dane yang nentuin aja." Vano ikut bersuara.

"Tapi kan gue harus kerja, jadi kalian aja yang liburan." kelima pemuda disana sontak menghela nafas lelah.

"Ijin libur dulu lah bang, seminggu aja kita liburan dulu." San mencoba membujuk Dane.

Still HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang