18

1.1K 142 4
                                    


.
.
.
.
.
Sudah beberapa hari sejak Vano akhirnya tau, gebetannya adalah sepupu Andra. Vano jadi baik banget sama Andra, biasanya emang baik sih, tapi ini lebih baik lagi. Sering banget tiba-tiba traktir Andra, lebih seringnya sih tiba-tiba muncul dirumah Andra sambil bawa sekresek jajanan. Andra sih suka aja, apa lagi dapet jajan gratis buat stok cemilan dirumah, tapi ada yang bikin Andra kesel, kalau Vano ngerengek kayak sekarang. Malu Andra tuh, mana Vano badannya segede itu, ngerengek macem bocah lima tahun didepan umum, kayak sekarang.

"Ndra, Andra, ya ya ya." Vano menarik-narik lengan jaket Andra, Andra nya malah bodo amat, udah gak kaget sama kelakuan temen tiangnya satu ini.

"Andra.." siapapun yang yang melihat posisi mereka pasti salah paham. Ya lihat saja, posisi Vano yang sebelumnya cuma menarik jaket Andra, berubah menjadi memeluk lengan itu posesif.

"Kalian ini ngapain sih?" Vano menoleh, dia menemukan Aldi sudah duduk di depannya, dengan semangkuk seblak juga buku ditangannya. Anak itu gk bisa ya gk bawa buku.

"Andra jahat sama gue Di." rengekan Vano kali ini, menghasilkan delikan kesal dari Andra, enak saja jahat.

"Jahat ndasmu." Andra menyentak tangan Vano, sedikit mendorong tubuh tinggi itu sedikit menjauh.

"Tuh kan Di." Aldi hanya menggeleng, bingung kenapa dia punya temen macem dua orang ini.

"Ndra."

"Gak ada Van, kalau lo masih ngerengek lagi, jangan main kerumah gue." Vano mendelik, eh gak bisa gitu dong.

"Eh gk bisa gitu dong, kan gue mau ketemu neng bidadari."

"Neng bidadari?" Aldi bergumam, membuat Andra menatap kearah sahabatnya itu.

"Oh iya lo belum tau ya Di, itu gebetannya si tiang." Andra menyahuti Aldi, mengabaikan Vano yang terus saja merengek.

"Terus kenapa, dia malah ngerengek ke lo?" mendengar itu, Andra langsung melihat ke Vano, sebenernya kasian ngeliat Vano yang cool dan buaya, ngerengek macem bocah.

"Gebetannya itu si Luthfi, Di, sepupu gue." Aldi menatap Andra tidak percaya.

"Luthfi?" Andra dan Vano mengangguk.

"Sepupu lo yang anak FK itu kan Ndra?" Andra mengangguk lagi.

"Berat perjuangan mu nak." Aldi mengucapkan itu dengan menatap Vano. Sedangkan Andra sudah tertawa.

"Buahahahahah." Vano yang melihat Andra tetawa lepas, menatap bingung.

"Berat kenapa?" Andra langsung menghentikan tawanya, begitu juga Aldi yang batal menyuap seblaknya.

"Lo suka sama Luthfi tapi lo gak tau apapun soal dia?" oh gusti, rasanya Andra dan Aldi pingin resign aja jadi temennya Vano.

"Nih dengerin Aldi, Van." Andra mempersilahkan Aldi untuk mengatakan apapun tentang Luthfi. Ya meskipun, Aldi tidak mengenal Luthfi secara langsung, tapi pemuda itu tau bagaimana Luthfi terkenal di Fakultasnya.

"Catet baik-baik ya, anggep aja gue kasih lo informasi biar lo bisa deketin dia." Vano langsung berubah jadi anak baik, mendengarkan apa saja yang keluar dari mulut Aldi maupun Andra. Cinta bisa merubah Vano seperti itu ya.

"Luthfi virendra zafran, pinter, banyak fans, anti deket sama buaya, dan setau gue dia deket banget sama salah satu alumni FK, yang sekarang udah jadi dokter." Aldi sengaja hanya memberi tau itu pada Vano, dia ingin Andra yang mengatakan yang lain. Karena mungkin Andra lebih berhak.

"Luthfi lahir tanggal 23 maret 1999, dia jarang keliatan di kampus karena emang dia tinggal nunggu wisuda, habis itu dia bakal coass disalah satu rumah sakit." Vano mengerjap, neng bidadari nya itu udah lulus, sedangkan dia masih aja bertahan dengan ipk yang standart, Vano jadi pingin nangis.

"Lo bisa deketin dia Van, gue kasih ijin karena lo temen gue." Vano menatap Andra berbinar, mau peluk Andra jadinya.

"Eh tapi inget, kalau sampe lo bikin dia nangis, gue potong anu lo!" Vano langsung menatap Andra ngeri, dia tidak bisa membayangkan Andra memotong masa depannya.

"Gue janji, gue gk akan bikin neng bidadari marah." Vano mengulas senyum tulus, senyum yang sudah jarang Andra dan Aldi lihat.

"Tapi selain lo harus ngeluluhin hatinya Luthfi, lo juga harus ngeluluhin hati mamanya Luthfi, yang auto jadi macan kalau anaknya dideketin cowo." apa baru saja Andra menjatuhkan harapannya?

"Tenang gue bakal berjuang buat itu."

"Jadi boleh gue main kerumah lo?" Andra mengusap wajahnya, dia lelah mendengar Vano.

"Gak, lagian hari ini Luthfi gak main kerumah gue, dia lagi sibuk." bahu Vano mendadak lemas, dia kan kangen sama neng bidadari.

"Besok aja." Andra beranjak, dia meninggalkan kantin setelah mengatakan itu pada Van dan menepuk pundak Aldi. Dia ada janji dengan San juga Gibran, mereka akan datang kealamat orang tua Dane.

Mereka mendapat alamat itu karena campur tangan ayah singgih, ayahnya San. Beliau kan tidak tega melihat anak dan calon mantunya nangis.
.
.
.
.
.
"Kak Mars." Edzard menoleh menatap Dane yang sedang memandangi gundukan tanah didepannya.

"Kenapa hm?" Edzard mengelus kepala Dane, pemuda manis itu sedang sedih, dia menemukan anak kucingnya mati dibawah pohon. Dane sempat menangis sebentar tadi, tapi langsung berhenti saat Edzard menghampirinya.

"Juju sendirian." Edzard mengalihkan pandangannya pada kucing kecil yang ada ditangan Dane.

"Kan ada kamu, jadi dia gak sendirian." Dane mendongak menatap Edzard yang berdiri di belakangnya.

"Sama kak Mars juga." Edzard menatap mata Dane yang berkedip, indah.

"Iya, nanti kita jaga bareng." Dane tersenyum, sangat manis hingga membuat Edzard ingin mengecup pipi simanis itu.

"Dokter Edzard." Edzard berdecak mendengar suara yang dihafalnya. Dia juga bisa melihat wajah Dane yang ketakutan.

"Ada apa dokter karin?" karin tersenyum manis, tapi itu justru membuat Edzard muak.

"Apa, dokter punya waktu luang nanti, saya ingin mengajak dokter makan malam." Edzard bisa merasakan cengkraman Dane pada snelinya. Dane tidak suka pada karin.

"Maaf dokter, tapi saya sudah ada janji nanti malam, lagi pula saja masih harus bekerja malam ini." Edzard ingin tertawa melihat raut wajah karin yang berubah masam.

"Baiklah dokter mungkin lain kali." dokter karin berbalik, tapi belum sempat dia melangkah suara Edzard meruntuhkan harapannya.

"Tidak akan ada lain kali dokter karin, maaf sebelumnya, tapi saya tidak suka perempuan." setelah mengatakan itu Edzard mengajak Dane kembali kekamarnya. Menyisakan dokter karin yang mengepalkan tangannya.
.
.
.
.
.
Luthfi melangkah ringan kearah kamar Dane, ditangannya ada kotak berisi chesse cake yang dibelinya tadi. Dia ingin memakannya dengan Dane, dengan Edzard juga sebenarnya.

"Pagi, eh." Luthfi mengerjap, saat tidak menemukan siapa pun didalam kamar. Dia baru saja ingin menutup kembali pintu kamar saat pundaknya ditepuk oleh seseorang.

"Ya gusti." Luthfi terlonjak, menghasilkan suara tawa dari orang yang menepuk pundaknya.

"Bang Edzard ih, kebiasaan."  Luthfi baru saja ingin menyembur Edzard dengan umpatan langsung urung saat mendengat tawa kecil dari Dane, yang ada dibelakang Edzard.

"Bang Dane, Luthfi bawa chesse cake, ayo makan." Luthfi langsung masuk kedalam kamar Dane, diikut Edzard dan Dane.

Luthfi meletakkan kotak kuenya dimeja, kemudian dia dia mengeluarkan piring kertas untuk makan kue. Setelah meletakan kue dimasing-masing piring dia menyerahkan nya pada Edzard dan Dane.

"Beli dicafe biasa ya?" Luthfi mengangguk. Edzard menatap Dane yang memakan kuenya dalam diam.

"Bang Dane." Dane yang mendengar namanya dipanggil pun, segera menatap Luthfi, dengan ekspresi bertanya.

"Boleh Luthfi tau nama lengkap bang Dane?" Dane mengerjap, sedangkan Edzard hanya menatap keduanya.

"Danendra reiki satria." ya, sejak saat dimana Dane memutuskan percaya pada Edzard, dia lebih banyak berbicara, meskipun hanya menjawab saat ditanya.

"Nama kamu bagus."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Still HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang