32

936 130 4
                                    


.
.
.
.
.
Edzard menatap Dane yang menangis sambil menggenggam tangan dingin itu, sudah dua hari berlalu tapi pemuda itu belum juga sadar, apakah kenyataan itu sangat menyakitkan hingga dia tidak ingin membuka matanya. Edzard sendiri sudah menangis kemarin, kenapa pemuda manis seperti dia harus menerima nasib seperti itu.

"Dane, udah jangan nangis." Edzard mengelus pundak Dane. Sejak Edzard memberitahu apa yang terjadi waktu itu, Dane sudah menangis kencang, hingga perlu ditenangkan oleh Edzard.

"Kak Mars." Dane beralih memeluk Edzard, menyembunyikan wajahnya pada perut dokter itu.

"Jangan nangis dia pasti sadar, sekrang dia cuma capek karena banyak nangis kemarin." Edzard mengelus kepala Dane, dia tidak ingin pemuda itu pingsan karena terlalu banyak menangis.

"Bang Edzard." Edzard menoleh, menemukan San berdiri diambang pintu ruang rawat. Wajah pemuda itu tambak sembab, memang sejak Edzard mengabari mereka semua, Dane dan San lah yang paling banyak menangis.

"Masuklah, kenapa berhenti disitu." San melangkah masuk, menatap seseorang yang sedang terbaring diatas ranjang pasien itu sendu.

"Bang Dane, jangan nangis lagi." Dane mendongak menatap San, dia segera mengusap air matanya, diabtau San lah yang paling terpukul karena kejadian itu.

"Duduk sini San, kamu mau nunggu dia kan?" San mengangguk, dia melihat Dane bangkit dari kursi samping ranjang pasien. Membiarkan San duduk disana.

"Luthfi kemana bang?" Edzard memandang San setelah menuntun Dane untuk duduk disofa yang ada disana.

"Kekantor polisi sama mama." San kembali menatap Edzard.

"Berdua doang?" Edzard menggeleng.

"Gak, dianter sama ayah gue dan lagi ayah bunda lo juga disana." San mengangguk. San sebenarnya ingin menghajar orang tua Andra, tapi dia tidak bisa, Andra pasti marah jika itu terjadi.

"Jujur gue pingin hajar mereka bang." San mengepalkan tangannya.

"T-tolong j-jangan bahas mereka San." San menatap Dane yang menggenggam tangan Edzard, dia lupa jika Dane juga merupakan korban dua manusia bejat itu.

"M-maaf bang."
.
.
.
.
.
Luthfi hanya menatap datar pada kantor polisi didepannya, disebelahnya ada sang mama, juga bundanya San,mereka baru saja melaporkan tindakan orang tua Andra, keduanya harus mendapat hukuman yang setimpal. Luthfi mengepalkan tangannya, dia sangat marah, om dan tantenya sudah menyakiti dua orang yang disayangi olehnya, terlebih lagi Andra adalah sepupunya, anak mereka sendiri.

Luthfi masih tidak menyangka ada orang tua yang tega memperlakukan anaknya seperti itu, apakah mereka kelainan. Bukan hanya pada Andra ternyata mereka juga ikut andil dalam hilangnya Dane tiga tahun lalu, kenapa mereka setega itu.

"Luthfi, ayo." Luthfi menatap mamanya, dibelakangnya sudah ada mobil milik ayah praja.

"Mereka pasti ketangkep, kamu tenang aja." Luthfi mengangguk, dia berjanji pada dirinya sendiri kalau sampai polisi gak bisa nangkep mereka, dia sendiri yang bakal nyari dua orang itu dan menghukum mereka.

"Mau langsung kerumah sakit?" Luthfi mengangguk, dia dan mama nya harus kerumah sakit.
.
.
.
.
.
Luthfi membuka pintu kamar rawat Andra, ruangan itu tampak penuh, semua sahabat Andra ada disini. Ada San yang duduk di kursi samping ranjang, Aldi dan Vano yang duduk dikarpet yang sengaja digelar disana, Gibran yang sedang duduk di sofa bersama Dane yang tertidur, bahkan ada Edzard disana.

"Gimana?" Luthfi langsung menerjang Edzard dengan pelukan, membiarkan tubuh tingginya dipeluk dengan hangat oleh sosok yang sudah dia anggap kakak itu.

"Laporan udah selesai bang, mereka masuk daftar buron." Edzard mengelus punggung Luthfi, dia tau bahwa sejak tadi Vano selalu menatapnya tajam.

"Terus kenapa langsung kesini, gak istirahat dulu?" Luthfi menggeleng, dia tidak bisa meninggalkan Andra.

"Istirahat disini aja ya, diruangan mama, gimana?" Luthfi kembali menggeleng, membuat Edzard menghela nafas. Sepertinya dia harus meminta ayahnya untuk menempatkan satu ranjang pasien lagi kamar ini.

"Ya udah duduk situ dulu, kamu istirahat disini aja." Tapi lagi-lagi Luthfi menggeleng, Edzard bingung, Luthfi sama sekali tidak ingin melepas pelukannya, sementara pemuda harus istirahat sebelum dia ikut tumbang.

"Kamu harus tetep istirahat dek, kamu gak mau tumbang juga kan, nanti kamu gak bisa jaga Andra." Luthfi hanya diam, dia tau jika Edzard sudah memanggilnya dengan sebutan 'dek' maka pemuda itu sedang tidak ingin dibantah.

"Gak mau kekamar lain disini aja." Luthfi tau tubuhnya butuh istirahat, tubuhnya demam, kepalanya pun cukup pusing sejak di kantor polisi tadi, itulah kenapa dia tidak ingin melepas pelukan Edzard.

"Iya disini, makanya duduk dulu ya." Luthfi akhirnya mengangguk, membiarkan Edzard menuntun tubuhnya ke sofa. Tubuh Luthfi masih tetap bersandar pada Edzard meskipun dia sudah duduk disampingnya sofa.

"Tunggu sebentar ya." Edzard sudah mengirim pesan pada ayahnya supaya praja mengirim satu ranjang pasien, tiang infus dan juga obat yang dibutuhkan Luthfi. Menurut Edzard tidak ada salahnya meminta sang ayah mengirimkan itu semua, toh praja pemilik rumah sakit ini.
.
.
.
.
.
Luthfi sudah berbaring diranjang yang diletakan bersebelahan dengan ranjang milik Andra, ditangannya terdapat infus, Edzard sendiri yang memasangnya, dia juga menyuntikan obat tidur pada Luthfi agar pemuda itu beristirahat.

"Bang Edzard perhatian bener ke bang Luthfi." Edzard tersenyum mendengar celetukan Gibran, pemuda itu masih setia bersender pada pundak Dane, yang sekarang sudah bangun dan memainkan rambut Gibran.

"Namanya juga udah bareng dari kecil Bran." Gibran mengangguk. Dia mengerti.

"Bang Edzard, dulu yang suka antar jemput Luthfi waktu les kan?" Edzard menatap Aldi, kemudian mengangguk.

"Kok lo tau Di?" Aldi tersenyum.

"Gue dulu satu tempat les ama Luthfi bang, waktu smp-sma."

"Kak Mars." Edzard mengalihkan pandangannya pada Dane, pemuda itu berkedip kearahnya.

"Kenapa? laper?" Dane mengangguk, Edzard tersenyum, kemudian memandang yang lain, sepertinya mereka juga kelaparan.

"Tunggu sebentar ya, bunda habis ini kesini bawa makanan buat kalian." Kali ini bukan hanya Dane yang mengangguk tapi yang lain juga mengangguk, mereka benar-benar kelaparan.
.
.
.
.
.
Disebuah rumah mewah tampak seorang wanita sedang menatap tajam pada pemuda mungil yang terlihat kesakitan. Bukannya menolong, tangan wanita itu justru menjambak rambut pemuda itu.

"Jadi anak itu gak usah ngerepotin, paham?" Pemuda itu hanya bisa menangis, dia juga tidak ingin merepotkan tapi bagaimana lagi.

"Harus nya aku buang aja kamu dulu, sama kayak aku nyingkirin mama sama mas mu." Wanita itu melepaskan jambakannya dengan kasar.

"Kalau bukan karena kalian itu pewaris, saya gak sudi ngerawat kalian." Setelah mengatakan itu, wanita itu segera meninggalakan pemuda mungil yang hanya bisa menangis itu.

"Dek." Pemuda itu tersentar saat pundaknya disentuh seseorang.

"Aku kangen mas, kenapa mas gak balik kesini sih?" Pemuda itu memukul dadanya yang terasa sesak.

"Jangan dipukul, nanti malah sesak, nanti mas pasti pulang buat nemuin kamu, sabar ya." Pemuda itu meraba tangan yang selalu menenangkannya itu.

"Mas Bima, ayo bantu aku cari mas Satria."

"Iya nanti mas bantu cari mas Satria, tapi sekarang kamu harus istirahat dulu, biar ada tenaga buat cari mas Satria." Pemuda itu menurut, membiarkan tubuhnya diangkat oleh orang yang menggantikan sosok kakaknya itu.

"Mas bima makasih."

"Sama-sama Hadar."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Still HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang