Epilog

49 7 1
                                    

It'll all be all right
I'll be home tonight
I'm coming back home

-Michael Bublé-

•••

Setiap orang punya mimpinya masing-masing untuk sampai pada tujuan hidupnya. Sewaktu kecil, Rufina ingin menjadi dokter usai melihat segerombolan orang berjas putih di televisi. Lebih dari itu, Rufina juga pernah ingin menjadi Presiden. Waktu berjalan dan gadis kecil itu telah tumbuh menjadi perempuan yang lebih dewasa. Lagi pula, tidak ada masalah. Waktu itu ia masih kecil dan semua anak kecil bebas menentukan ingin menjadi seperti apa dirinya meski terdengar mustahil. Bahkan, ia pernah ingin menjadi superhero, seperti yang sering ditontonnya. Tidak ada yang melarangnya untuk terus bermimpi.

Sepanjang perjalanan hidup dengan segala kapasitasnya, semua orang pernah gagal. Dari kegagalan itu sudah seharusnya kita belajar. Kita lahir dan tumbuh memegang erat mimpi. Meski pada akhirnya tidak semua terwujud dengan kata yang sering kita bilang gagal.

Rufina pernah jatuh cinta. Sangat dalam. Meski waktu itu ia masih di bangku sekolah, ia bisa merasakan cinta yang diterimanya adalah cinta yang tulus. Pada kenyataannya, takdir berkata lain. Dunianya runtuh saat orang yang ia cintai pergi bersama cinta pertamanya -ayah-.

Kalau saja waktu itu ia tidak memaksakan diri untuk bertahan pada keadaan, mungkin ia sudah tidak di sini sekarang. Hari-hari berat ia lewati dengan tangis dan penyesalan. Berbagai pengandaian singgah di otaknya, namun apalah daya. Tidak adalagi yang perlu ia sesali karena waktu tidak bisa diputar.

Setelah cinta pertama dan dipatahhatikan untuk pertama kalinya, Rufina kembali jatuh cinta, juga patah hati lagi. Berkali-kali. Kadang ia merasa lelah dan ingin menyerah. Namun, ia bersyukur karena bisa bertahan. Ia bersyukur bahwa cinta yang ia rasakan bisa diperjuangkannya.

Mengingat kembali bagaimana hari-hari yang telah dilaluinya, Rufina sungguh bersyukur. Ia menjatuhkan pensil yang biasa digunakan untuk menggambar. Rufina berdiri dari kursi kerjanya dan tersenyum lebar kala melihat foto pernikahannya yang dipajang di beberapa sisi ruang kerjanya. Orang yang dulu berstatus sebagai pacarnya kini sudah menjadi satu-satunya lelaki yang akan selalu ada di sisinya.

Suara ketukan di pintu menghentikkan aktivitasnya. Secepat kepalanya menoleh, secepat itu pula pintu terbuka. Rufina menatap tidak percaya sosok di hadapannya yang sedang bersender pada kusen pintu dengan dasi longgar dan kemeja yang sudah di gulung pada bagian lengan.

"I'm home, Love."

Biar wajahnya menyiratkan kelelahan, Arga masih bisa tersenyum dan membuka kedua tangannya di sisi tubuh. "Sini, Sayang ..."

Rufina mempercepat langkahnya dan menjatuhkan diri di pelukan suaminya. "Kamu pulang? Jadwal penerbangan bukannya besok pagi?"

Arga berdehem. Ia masih ingin melepas rindu bersama istrinya. "Aku langsung ambil tiket tadi karena kebetulan pekerjaan aku juga udah selesai." Lelaki itu mengecup puncak kepala istrinya dengan sayang.

Rufina melonggarkan pelukannya. "Biar aku siapin handuk dan baju untuk kamu mandi juga makan malam," ucapnya. Arga menggeleng cepat dan memeluk kembali istrinya. "Aku masih mau pelukan sama istri aku. Kenapa sih?" decaknya. Ia tertawa pelan dan menerima pelukan itu. Pelukan yang memang sudah dirindukkannya sejak seminggu yang lalu. Maklum, Arga sedang mengambil proyek besar-besaran sehinga ia harus terbang ke Bali untuk seminggu. Untungnya pekerjaan dapat selesai lebih cepat dari waktu yang diperkirannya.

"Istriku apa kabar?"

"Baik."

"Padahal hampir tiap hari kita video call, tapi rasanya tetap beda kalau ketemu langsung." Rufina mengangguk setuju. Selama beberapa menit mereka hanya diam dalam posisi saling mendekap. Wanita itu menjatuhkan kepala pada dada bidang Arga dan mencium aroma parfum yang sudah ia hapal di luar kepalanya dengan sangat dalam.

RufinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang