Marah

736 55 2
                                    

Kini biarlah waktu yang menjawab semua.

-Pasto-

•••

"Lo tolong buat gambaran proposal buat perpisahan kelas 12," titah Arga, tetap fokus pada kegiatan menyetirnya.

Rufina berhenti menatap ponselnya. Ia menatap tak suka lelaki di sampingnya. "Lah kok gue? Yang sekertaris OSIS-kan Nada sama Nay bukan gue." Arga menoleh sekilas, "Gambaran doang loh, Ruf. Mereka bilang belum pernah bikin sama sekali. Lo cuma buat gambaran kotornya aja kok."

"Lo pikir gue tau? Ya mau dia baru pertama kali kek atau udah berkali-kali tetap aja itu urusan dia. Diakan bisa cari referensi di internet atau nanya-nanya ke sekertaris sebelumnya. Kalau akhir-akhirnya minta bikinin ya ga usah daftar jadi anggota OSIS," cercanya dengan sengit. Bukan apa-apa, tetapi ini memang bukan urusannya.

Arga menghela napas. "Lo udah lebih berpengalaman dalam OSIS, Ruf. Lagi juga lo cuma buat bagian inti. Masalah danakan belum tau benar jadi lo ga usah bikin bagian itu sama tempat dan tanggal juga kosongin aja," jelasnya dengan tatapan yang masih fokus pada jalan.

Rufina tertawa renyah. "Kalau gitu lo aja yang ngerjain. Lokan pemimpinnya."

"Ruf, gue kan cu--"

"Apa? Minta tolong? Dengar baik-baik, ya. Ga ada tuh ceritanya wakil ketos malah bikin proposal. Lo ga bisa menggunakan kekuasaan lo seenak jidat," hardiknya berapi-api.

Ketenangan Arga terusik. Hatinya mulai bergemuruh padahal ia sudah mencoba untuk berbicara sebaik mungkin. "Lo kok jadi nyalahin gue gini sih?" sahutnya.

"Emang lo salah! Kalau ga bisa jadi pemimpin yang baik mah ga usah ngajuin diri jadi Ketos. Enak ya jadi lo. Cuma karena tenar dan banyak yang suka lo bisa dapetin jabatan dengan mudah tanpa tahu gimana susahnya," katanya dengan sarkas.

Arga memilih untuk melajukkan mobilnya dengan kecepatan tinggi daripada harus menyanggah segala pendapat Rufina. Hatinya panas mendengar bahwa jabatan sebagai ketua OSIS miliknya bisa ia dapatkan semudah itu. Beberapa kali lelaki itu membanting stir, membuat Rufina takut. Sepertinya Rufina belum pernah melihat kemarahan Arga secara langsung.

Ia menggenggam erat sabuk pengaman yang menyilang diagonal di tubuh. "Pel--"

"Diam!" Meski intonasinya rendah, namun dapat membuat Rufina ketakutan. Jakunnya naik turun tidak menentu menahan amarah yang sedaritadi berdesak ingin keluar.

Hampir saja Rufina terpekik mendengar bentakan Arga. "Tu-turunin gue sekarang," ucapnya tersendat.

Arga mengerem mobilnya mendadak. Rufina yang tak siap jadi terhuyung. Hampir saja mengenai dashboard.

Rufina menarik napas dalam-dalam sekadar untuk menenangkan jantungnya yang berpacu cepat. Jujur ia terkejut. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa lelaki yang dibencinya itu akan seperti ini.

Gadis itu meraih pintu mobil dengan gemetar, lalu keluar dari mobil dengan perasaan takut. Deritan mobil membuat dirinya dapat bernapas lega. Tak jauh dari sana ada sebuah halte. Rufina berjalan dan memegang erat sling bag ungunya. Jangan berharap bahwa dirinya akan menangis karena ia tidak akan pernah menangisi lelaki itu. Ia mengambil ponsel lalu memesan ojek online.

***

Arga masuk ke dalam rumah dengan perasaan gusar. Tanpa menyapa ibu atau kakaknya yang sedang menonton atau sekadar menatap, lelaki itu segera pergi menuju kamar. Kedua perempuan itu sama-sama memperhatikan Arga dari belakang.

RufinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang