Perpustakaan

642 56 33
                                    

I'm stuck in the dark but you're my flashlight

-Jessie J-

•••

"Kakak!"

Rufina yang sedang duduk di kursi belajar seketika terlonjak kaget karena Adina langsung menubruknya hingga kursi yang sedang ia duduki hampir patah.

Rufina merengkuh adiknya karena ia mendengar isakan pilu dari bibir kecil itu. Walau ia tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Adina, setidaknya ia bisa memberikan sedikit ketenangan sampai gadis itu mampu menceritakan apa yang terjadi.

Masih dengan isakan, Adina mulai berhadapan dengan kakaknya. Sebelum itu, Rufina membawa Adina untuk bercerita di atas tempat tidur agar mereka lebih leluasa. "Jadi ... kenapa?"

Dengan suara parau karena menangis ia menjelaskan semuanya. Rufina menyipitkan matanya, "Jadi lo nangis karena ngeliat Kavi jalan sama cewek lain sambal rangkul-rangkulan?" Adina mengangguk.

"Lo nerima dia?" Adina terdiam. Ia yakin, lambat laun kakaknya juga akan tahu karena dirinya tidak bisa berbohong pada Rufina. Lagi pula, Adina lebih nyaman bercerita dengan kakaknya daripada teman-teman sekolah.

"Kan gue udah bilang, Din, jangan terima dia. Benarkan apa kata gue kalau dia brengsek?" Adina menunduk. Tak berani menatap mata tajam yang menusuknya. Helaan napas terdengar dari seseorang yang duduk di sebelahnya.

"Putusin dia." Ini bukan saran, tetapi lebih ke sebuah perintah yang harus ditaati.

Ya. Gadis itu patuh. Hubungannya memang harus kandas. Lagi-lagi ia menggunakan gerakan kepala untuk menjawab perintah kakaknya.

"Gue emang ga suka sama dia tanpa alasan. Ya mungkin firasat seorang kakak kali, ya. Pokoknya semenjak lo diantar dia pulang gue udah ngerasa dia cuma mempermainkan lo. Lagi juga, masih SMP ngapain pacaran sih? Masih kecil juga."

Adina menggerutu sembari menarik ingusnya yang hendak keluar. Ia mengelap air mata dengan tangan kemudian menatap kakaknya. "Lo juga pacaran tuh."

"Ck. Dengar ya adik kecil gue yang baru aja patah hati. Pacaran gue ini bukan pacaran beneran. Udah dah, pokoknya lo jangan ngikutin apa yang udah gue alami sekarang. Mending nih lo belajar karena bentar lagi UN." Seperti seorang Ibu yang sedang memberi saran, Rufina juga menepuk-nepuk puncak kepala Adina dengan senyum paling menyebalkan.

Adina mengerucutkan bibirnya. "Sok."

"Kok sok?"

"Ga jadi."

"Pokoknya lo jangan pacaran sampe UN selesai dan dari kejadian ini lo pasti udah lebih sadar jadi gue ga perlu turun tangan buat milih siapa cowok yang pantas karena lo lebih tahu."

Ini yang Adina suka dari Rufina. Walau kakaknya menyebalkan, tetapi gadis itu tetap memberikan saran yang membangun. Mungkin semua orang akan mengejeknya, namun Rufina justru akan membawanya pergi jauh, menamparnya keras secara tak langsung, lalu memeluknya sekuat yang ia bisa.

Hangat kembali melingkupi Rufina. Ia terkekeh dengan kedua tangan yang ikut membalas pelukan Adina. "Uduh-uduh. Adik kecil gue udah gede ternyata. Cup cup cup."

"Kakak!"

"Iya-iya. Udahan ah." Dengan sigap, Rufina mendorong pelan bahu Adina saat gadis itu mulai memeperkan ingus ke bajunya.

"JOROK!"

Rufina mengambil bantal yang letaknya tak jauh dan memberikan pukulan bertubi-tubi untuk Adina sampai gadis itu berhenti tertawa dan memilih pergi dari kamarnya. Setelah pintu tertutup bibirnya melengkung ke atas. Ia bersyukur karena Tuhan membuktikan ketidaksukaannya secara langsung pada adiknya.

RufinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang