Abstrak

320 26 5
                                    

Sometimes I wish
That I could still call you mine

-Gangga-

•••

Rufina berusaha keras untuk membuka matanya meski rasa pusing menghantamnya berkali-kali. Saat pertama kali membuka mata, pupilnya mengecil untuk membatasi cahaya lampu yang menembus matanya.

Setelah matanya terbuka sempurna, Rufina menginventori sekeliling dan melihat Nay yang tadinya duduk di sofa tengah berjalan cepat ke arahnya. "Ruf udah sadar?" Pertanyaan bodoh tentunya dan Nay menyesali itu. Nay membantu Rufina untuk duduk dengan meletakkan bantal pada punggung gadis itu dan memberikan air botol. Setelah membantu Rufina, Nay segera mengetikkan pesan kepada seseorang.

Sejujurnya, Nay cukup sedih melihat temannya seberantakan ini. Tadi, saat mereka semua sedang sibuk mengurus acara, Nay diminta Bu Dian untuk memanggil ketua OSIS. Ia sibuk mencari lelaki itu. Tak mau pikir panjang ia langsung saja men-dial-nya. Lelaki itu memintanya untuk kembali ke kamar yang ditempatinya karena dirinya ada di sana. Sungguh Nay tidak menyangka saat pertama kali ia datang, ia justru melihat Rufina tertidur dengan jejak air mata yang terlihat jelas dan tubuh berbalut selimut. Pantas saja sejak tadi ia tidak melihat keberadaan Rufina.

Nay juga tidak bisa lupa perihal bagaimana paniknya Arga untuk jangan lupa mengabari apabila gadis di depannya sudah sadar. Walau Nay tidak mengetahui persoalan apa yang sedang melingkupi kedua orang tersebut, namun Nay tahu bahwa sangat berat bagi Arga untuk meninggalkan Rufina di keadaan ini.

Tidak lama, pintu kamar diketuk tidak sabar. Rufina memandang Nay dengan bingung. Nay sendiri segera membukakannya. Arga segera menyerbu masuk.

"Lo udah sadar?" Rufina tengah menyandarkan tubuh pada kepala tempat tidur, sedangkan ia mengambil tempat duduk di sisi bawah tempat tidur. Arga menyatukan kedua tangan Rufina dan menggenggam tangan putih gadis itu.
Melihat Rufina menghindari tatapannya seperti menikam Arga tepat di dada.

"Mana yang sakit, hmm? Kepalanya masih pusing ga?" tanyanya lagi.

Oleh wajah tampan yang memandanginya khawatir di sana, yang kemudian hampir saja meruntuhkan dinding pertahanan Rufina dalam sekejap.

Nay paham akan keadaan ini. Dua orang di depannya butuh waktu dan Nay tidak mau menganggu. "Gue keluar dulu, ya. Mau bantu-bantu yang lain dulu," pamitnya. Tepat sebelum pintu ditutup, gendang telinganya masih dapat mendengar jelas ucapan terima kasih dari Arga.

Arga masih memandangi kekasihnya yang sejak tadi hanya terdiam dan menghindari tatapannya. Ia mengecup punggung tangan Rufina yang segera ditarik oleh gadis itu.

"Gue buatin teh hangat ya biar lo enakkan."

Arga berdiri dan memanaskan air di dalam ketel elektrik yang tersedia. Tangannya sibuk menuangkan gula bubuk dalam kemasan  sembari menunggu air mendidih. Apa yang dilakukan Arga tidak luput dari pandangan Rufina meski sejak tadi ia pura-pura menghindari tatapan Arga karena tatapan itu adalah tatapan yang sulit untuk ditolaknya akhir-akhir ini.

"Minum dulu, Ruf." Air wajah Arga masih tidak tenang. Ada ketakutan yang tersirat di sana.

Bolehkan Rufina berharap bahwa ketakutan di mata Arga karena dirinya?

Sadar, Ruf. Sadar!

Arga ingin membantu gadis itu untuk minum, namun Rufina menolak dan mengambil gelas itu. Rasa hangat menjalar dan membasahi tenggorokannya yang kering.
Kecanggungan yang terjadi memutuskan Rufina untuk berkata sesuatu yang berkebalikan dengan apa yang diinginkannya.

RufinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang