Dia Datang

567 56 13
                                    

Saling bantu berdiri, tersenyum, dan menatih.

-Rahmania Astrini-

•••

"Kapan ulang tahun?"

Rufina menunjuk dirinya sendiri, "Gue?"

"Engga. Mang Bejo," sahut Arga asal.

Rufina berusaha mengingat-ingat kapan ulang tahun satpam rumahnya itu. "Kalo ga salah 14 April deh. Kenapa emang? Mau kasih kejutan, ya?"

Dengan mata tak berkedip Arga menggeleng, "Lo beneran berpikir bahwa gue nanyain ulang tahunnya Mang Bejo?"

Kedua alis Rufina saling bertautan. "Tadi lo sendiri yang bilang."

Arga menjitak dahi Rufina. "Buat apa gue nanyain ulang tahun Mang Bejo? Ya gue nanya ulang tahun lo lah."

"Buat apa? Lo..." telunjuknya mengacung, "pasti mau santet gue ya?"

"Apa sih lo dari tadi ga jelas banget. Mana ada ya santet pake tanggal lahir. Kalo gue mau juga gue jambak aja rambut lo terus rambutnya gue kasih ke dukun."

Rufina bergidik ngeri dan melengos. Arga yang sadar langsung menarik tangan Rufina, membawa tubuh gadis itu lebih dekat. "Lo pikir coba, buat apa gue nyantet lo?"

Bahu Rufina terangkat. "Mana gue tau. Siapa tau lo mau santet biar gue suka sama lo."

Arga mendorong telunjuknya tepat di depan dahi gadis itu. "Ga ada gunanya gue santet lo biar suka ama gue karena..." Arga mulai berbisik sembari menyeringai, "lo udah naksir duluan ama guekan?"

"NAJIS!"

Arga tertawa melihat wajah Rufina yang seolah ingin muntah. Ia berjalan cepat dan tak sadar bahwa Rufina tidak beranjak sedikit pun. Arga menyipitkan matanya. "Ayo jalan anak badak!"

***

Musik adalah salah satu jenis seni yang ia sukai. Sekarang Rufina sedang duduk di depan piano hitam kesayangannya. Dulu ia pernah les, namun sekarang sudah tidak. Gadis itu menarikan tangannya di atas tuts berwarna hitam dan putih. Otaknya menyeruakkan ide untuk memainkan lagu yang tengah menjadi kesukaannya akhir-akhir ini. Jari lentiknya mulai memainkan intro persis seperti lagu aslinya.

"I found a love," suaranya mengalir merdu. Setidaknya ia bisa menyanyi walau sekadar. "For me," lanjutnya sangat lembut.

"Darling just dive right in and follow my lead."

"Well I found a boy, handsome, and sweet," sebentar ia terkekeh karena lirik yang dinyanyikannya terdengar memaksa.

"Apaan sih, Kak? Maksa banget tau ga?" cetus Adina yang sedang menikmati acara di salah satu stasiun televisi. Posisi piano memang tidak jauh dari ruang keluarga atau lebih tepatnya di sebelah kanan televisi.

"Biarin aja napa," sahutnya enteng.

"I never knew you are the someone waiting for me," lanjutnya.

Rufina terus bernyanyi sampai tiba-tiba derit pintu terdengar, membuat ia fokus pada siapa yang baru saja mengalihkan perhatian mereka. Ralat, Adina juga. Mereka berdua saling adu tatap dan menuju pintu bersama.

Bukan hanya Rufina dan Adina yang tercengang, tetapi wanita di depannya sama. Jantung mereka saling berpacu dengan cepat. "Bunda?" Adina tidak dapat menahan air matanya. Remaja itu langsung mendekap erat tubuh hangat yang selama ini menjadi sandarannya.

Tidak seperti Adina yang segera menghambur, Rufina masih membeku di tempat. Bibirnya mendadak bisu, tak mampu berkata satu kata pun. Di waktu yang sama, bayangan masa lalu kembali menghampiri. Menghampiri luka yang mungkin 45% sudah tertutup, namun sekarang menganga kembali. Menghampiri hatinya yang tiba-tiba dihujani rasa sakit bertubi-tubi.

Jujur, Rufina ingin melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Adina, tetapi ia tidak bisa. Lebih tepatnya ia menahan diri untuk itu. "Bunda kenapa lama banget pulangnya?" Rina tersenyum dan menghapus lembut air mata yang mengalir di pipi kanan dan kiri anak bungsunya. "Maaf ya, Sayang. Bunda baru bisa balik sekarang karena pekerjaan Bunda yang ga bisa Bunda tinggal."

Perasaan rindu membuncah hebat ,menyergap ke seluruh relung hati Rina kala melihat anak sulungnya hanya berdiam diri. Tidak berkutik sedikit pun. Ingin sekali Rina memeluk Rufina yang mungkin berjarak 1 meter di depan, namun semua tertahan melihat tatapan tajam dan sendu di waktu bersamaan.

"Ngapain ke sini?" Rufina berusaha seketus mungkin menghadapi bundanya walau matanya sudah memerah, menghalau air mata agar tak terjatuh. Rina berusaha tersenyum, "Mulai hari ini Bunda bakal tinggal di sini. Pekerjaan Bunda udah selesai."

"Kamu masih membenci Bunda?" Nada itu terdengar sangat lirih, membuat Rufina merasakan ribuan tusukan belati tepat di jantungnya.

"Untuk apa pun yang sekarang hati aku rasakan, Bunda ga perlu tahu. Lakuin aja apa yang Bunda mau, tapi aku minta jangan ikut campur segala urusan aku." Tanpa pelukan hangat ataupun ucapan halus, Rufina angkat kaki dari sana.

Begitu tubuhnya berbalik, barulah bahunya bergetar. Ia berjalan menuju kamar dengan perasaan hancur. Hatinya sakit. Tubuhnya luruh di balik pintu kayu berwarna putih. Rufina hanya mampu menenggelamkan wajah di kedua lekukan tangannya. Membiarkan air mata mengalir deras. Semua ini seperti bumerang.

Dengan intonasi rendah dan suara bergetar ia bertanya, "Kenapa baru kembali sekarang? Kenapa?"

***

"Bunda janji ga pergi lagi?"

Senyum Rina terbit. "Iya. Sekarang tempat kerja Bunda ga jauh-jauh lagi jadi tiap hari bisa pulang, bisa masakin sarapan buat kamu, dan bisa temenin kamu setiap malam."

Adina mengacungkan kelingkingnya, "Bunda janji?"

Rina membalas acungan itu, "Janji!"

Mereka berdua kembali berpelukan. "Gimana sekolah kamu? Pelajarannya pasti makin susah, ya?"

Adina mengangguk cepat, "Iya! Apalagi udah mau UN. Pelajaran makin susah aja. Aku jadi makin jarang punya waktu buat nonton film."

Rina terkekeh, "Kalau mau jadi orang sukseskan memang harus ada yang dikorbankan. Sekarang kamu susah-susah dulu biar nanti bisa masuk SMA yang kamu mau."

"Aku boleh tidur sama Bunda?"

Dengan semangat Rina menjawab, "Bunda ga punya alasan buat nolak anak gadis Bunda yang mulai besar."

Malam ini menjadi malam terindah bagi Adina. Ia bisa menikmati lagi perhatian dari seorang ibu. Ia bebas memeluk bundanya kapan pun yang ia mau sekarang. Di kamar lain, Rufina justru tidak tenang. Banyak hal yang ia pikirkan.

Sejak kedatangan ibunya tadi sore, mood-nya benar-benar berubah total. Tangannya mendorong rolling door menuju balkon. Kakinya melangkah dengan berat layaknya orang putus asa. Malam ini ada sangat banyak bintang bertebaran di langit dan ia berharap akan ada satu bintang yang jatuh. Setidaknya ia bisa melakukan apa yang orang lain lakukan saat bintang terjatuh.

Apa ia bisa menerima masa lalunya dengan lapang dada?

Ia ingin hidupnya tenang. Rentetan kejadian masa lalu langsung menghantuinya ketika matanya bertemu dengan wajah cantik bundanya. Ia rindu pelukan wanita itu, tetapi seperti ada tembok besar yang menghalanginya. Menghalangi hatinya yang juga sangat mencintai dan merindukan wanita itu. Wanita yang selalu ada di pikirannya.

Tidak seperti Adina, malam ini mungkin akan jadi salah satu malam terberat dalam hidupnya.

•••

Tbc...

Xoxo

14 Mei '18

RufinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang