Arga ... baik?

686 61 6
                                    

Stay in my arms if you dare
or must I imagine you there.

-Whitney Houston-

•••

Adina yang melihat kakaknya masuk mulai menyerukkan pertanyaan, bermaksud menggoda. "Pacarnya ga diajak masuk, Kak?" Rufina mengerucutkan bibirnya dan memilih diam sebagai jawaban yang tepat. "Lo udah makan?"

Salah satu alis Adina terangkat. "Ga salah? Biasanya, yang ditanya udah masak, bukan udah makan." Rufina mendengus, "Ya emang kenapa sih? Kalau lo belum makan, biar gue masakkin." Adina berdiri dari sofa empuk. Ia mengedip lucu. Otaknya berusaha mencerna kalimat yang seharusnya tak perlu lagi diragukan jika bukan kakaknya yang berbicara.

Ia mulai menolak keras. "Kak, lo pasti masih ingetkan terakhir kali lo masuk dapur kita jadi kapal pecah?" Ini seperti bukan pertanyaan. Adina tidak berbohong. Beberapa bulan yang lalu Rufina memang pernah mencoba untuk memasak.

Adina yang mengetahui hal tersebut merasa senang karena pada akhirnya kakaknya mau turun tangan untuk urusan dapur. Namun, realiti tidak seindah ekspetasi. Semua peralatan dapur justru berserakkan dan yang lebih parah cipratan minyak tersebar hingga lantai.

Adina ingat ketika dengan keras kakaknya mulai meneriaki namanya. Ia segera keluar dari kamar dan memijat keningnya melihat keadaan dapur. Hal pertama yang dilakukannya adalah mematikan kompor. Adina mengamati apa yang sedang dimasak kakaknya, tapi gagal. Ia tidak bisa melihat karena makanannya sudah menghitam.

"Gue ga tau tutup panci di mana jadi ya udah gue panggil lo. Mau matiin kompor juga gue kaga berani. Minyaknya muncrat-muncrat. Kayanya mulai besok gue harus pake jaket serta sarung tangan kain kalo masak. Jadi pas minyaknya muncrat-muncrat gue ga bakal kena deh," katanya bangga seolah idenya adalah yang paling cemerlang.

Adina mengusap wajahnya. "Udah mulai besok ga usah masak lagi dah. Biarin gue aja yang masak."

Rufina memutar bola mata jengah. "Ya udah deh. Gue ke atas dulu."

***

"Kakak."

Rufina berdehem, memaksa Adina yang tadinya hanya menyembul di pintu untuk masuk ke dalam kamar.

"Lo dari tadi belom makan. Itu gue udah masak."

"Entar gue makan," sahutnya tetap fokus pada laptop dan kertas beserta alat-alat tulis lain di meja.

"Gue bawain deh."

"Ga usah, Din. Ini tugas gue masih banyak banget. Pokoknya lo tenang. Kalo gue laper gue pasti turun."

Adina menghentak-hentak kakinya. "Udah seminggu ini lo makan telat mulu. Biarin aja ngeyel. Maag lo kambuh lagi sukur!"

Rufina tidak mau menanggapi.

***

Tidak seperti pagi sebelumnya, hari ini Arga memilih berangkat sendiri. Ia malas berdebat atau bertindak seperti lelaki yang sangat membutuhkan perempuan hanya untuk mengisi kekosongan mobilnya.

Tapi ada satu hal yang terus diteriaki hatinya sejak perdebatan hingga sekarang.

Ia salah.

Sekeras apa pun sangkalan yang ia lakukan, hatinya terus berteriak bahwa ia salah dan harus meminta maaf.

Ok. Mungkin nanti akan ia lakukan.

Sampai di kelas, ia menemukan satu dokumen di atas mejanya. Tanpa membolak-balik pun ia tahu bahwa itu adalah proposal yang ia minta buatkan. Matanya menatap sekeliling, namun tidak menemukan orang yang ia cari.

RufinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang