I wrote this song for you.
-Rendy Pandugo-
•••
Di kelas barunya yang memang mendadak ia rencanakan ketika tahu sesuatu yang penting dalam hidupnya, ia melangkah dan memperkenalkan diri layaknya anak baru padahal itu semua tidak penting. Dari langkah pertama setelah melewati pintupun Bella tahu bahwa Raka butuh penjelasan. Buktinya? Lelaki itu membelalak sembari menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Raka mengeluarkan tatapannya yang setajam laser, namun tidak mampu meruntuhkan kepercayaan diri Bella untuk tetap berjalan.
Beruntung ada satu kursi yang kosong jadi Bella tidak perlu bersusah payah untuk menunggu beberapa hari sampai akhirnya ia pindah. Matanya kini menelusuri teman-teman barunya yang sebagian besar sudah ia kenal termasuk satu gadis yang ---
"Nama saya Bella dari kelas sebelah. Semoga kalian betah jadi teman sekelas saya!" sapanya guna menghentikkan pemikirannya.
Layaknya murid biasa, pasti ada beberapa dari mereka yang memberi senyum lebar sampai muka super datar. Sisanya juga ada yang berbisik-bisik karena tidak suka dengan sikap Bella yang sesuka hati. Mereka tahu bahwa gadis itu pindah ke kelas ini mungkin karena merasa tidak nyaman di kelas lamanya.
Untuk alasan lain tentu mereka tak tahu selain karena ayahnya adalah pemilik sekolah yang dermawan. Sejujurnya mereka merasa bahwa pemilik sekolah tidak adil karena bisa seenaknya memindahkan putrinya ke kelas mana pun, tetapi apa yang bisa mereka lakukan selain diam? Mereka hanya murid biasa di sekolah ini.
Bella tidak terlalu ambil pusing ketika melihat tatapan tidak suka dari beberapa siswi di kelas. Sekali lagi ia ucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa karena kursi kosong yang akan ia tempati letaknya tepat di belakang Arga.
Wali kelas kembali memulai pelajaran setelah sambutan untuk anak baru tersebut.
***
Bel istirahat berdering di seluruh penjuru kelas. Semua murid lantas berhamburan keluar kelas. Tanpa sapaan atau ucapan selamat datang, Raka angkat kaki dari ruangan. Bella peka akan hal itu. Tadinya, ia ingin mengajak Arga kenalan terlebih dahulu. Ya hitung-hitung basa-basi, tetapi tanpa disangka-sangka Raka mungkin benar-benar marah sampai tak mau sekadar bertegur sapa.
"Hai, Raka!" sapanya seolah ia tak melakukan kesalahan apa pun.
Raka tak mau menoleh. Ia terus berjalan menyusuri koridor tanpa tahu akan kemana kakinya berhenti.
"Raka..." panggilnya tak mau putus asa. Kali ini diselingi kontak fisik berupa tarikan halus di tangan.
Karena tak ada tanda-tanda untuk berhenti, Bella terpaksa menarik tangan Raka dan membawanya untuk duduk pada kursi semen berlapis keramik terdekat.
"Ngapain sih? Gue mau ke kantin. Laper," umpatnya dengan intonasi sedikit tinggi.
Bella mengembungkan pipinya. "Gue tuh mau jelasin. Lo udah marah-marah duluan aja."
Raka melipat kedua tangannya di depan dada. "Ga ada yang perlu lo jelasin juga."
"Ih kok jadi marah sih?"
Raka diem tanpa menoleh. Menunggu penjelasan dari gadis di sampingnya.
"Gue pindah ke kelas lo karena mau ngelancarin rencana gue. Terus, lo tahu sendirikan gue ga terlalu dekat sama orang-orang di kelas. Kenapa gue bisa pindah? Tentu semuanya ga jauh-jauh karena campur tangan Papa. Di samping itu juga mantan kelas gue, asek mantan kelas..." seloroh Bella diselingi kekehan yang menurut Raka tak cukup lucu, "di samping itu mantan kelas gue ama kelas yang sekarang cuma sebelahan. Guru yang ngajar semuanya sama. Jadi ga terlalu susah kalau mau pindah. Toh mereka masih kenal gue ini," sambungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rufina
Teen FictionAmazing cover by @unicorngraph Karena Arga, Rufina harus terlibat taruhan bodoh dengannya. Bayangkan, dua rival ini harus berada dalam satu hubungan yang bernama jadian. Apa jadinya? Apakah benar pepatah 'Perasaan seseorang berubah seiring berjalan...