Kembali

306 35 8
                                    

Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

-Dewi Lestari-

•••

Selama perjalanan yang cukup memakan banyak waktu, Rufina sibuk memikirkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada Arga. Air matanya terus mengalir. Ia tidak peduli seberapa buruk penampilannya saat ini. Ia hanya berharap dapat kabar baik tentang Arga.

Berbeda dengan dirinya dan Vino, Haidar tampak sangat tenang di sebelahnya. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Rufina tanyakan, namun lidahnya keluh. Ia tidak mampu mengutarakan satu pun pertanyaan yang menggorogoti otaknya.

Haidar menurunkan Vino dan Rufina tepat di depan pintu masuk rumah sakit, sementara dirinya harus memarkirkan mobil terlebih dahulu. Meskipun langkahnya terasa berat, Rufina tetap berusaha untuk sampai di pintu masuk. Mendengar nomor 114, Rufina segera menuju ke sana diikuti Vino di belakangnya.

Gadis itu memperpanjang langkahnya diikuti degup jantung yang tidak kunjung mereda. Tangannya menyambar kenop pintu dengan segera dan masuk. Satu hal yang langsung menarik perhatiannya adalah Arga yang terbaring tidak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Cowok itu berbaring telungkup dengan mata tertutup. Rufina yakin ia tidak salah lihat bahwa perban menyembul dari balik pakaian rumah sakit. Membalut bahu tegap Arga.

Kakinya melangkah perlahan, menarik kursi, dan duduk di samping ranjang. Dengan jarak sedekat ini Rufina sadar bahwa wajah Arga dihiasi luka memar. Ia menyentuh luka itu meski tangan dan tubuhnya bergetar hebat.

"Kita keluar dulu, ya, Ruf."

Bahkan Rufina tidak sadar bahwa sudah ada Sam di ruangan ini. "Gue mau kabarin keluarga Arga dulu," lanjut Sam. Lelaki itu menghampiri Rufina dan menggenggam tangannya erat. "Kita sama-sama bawa dalam doa, ya."

Rufina hanya mengangguk, namun air matanya tak kunjung berhenti. Bunyi derit pintu membuatnya semakin berani untuk mendekatkan diri dengan Arga. Ia mengecup punggung tangan itu dengan hati-hati.

Ia menundukkan kepala. Kembali mengingat pesan-pesan Arga disertai kalimat sayang yang tidak pernah berhenti menghampiri ponselnya termasuk pesan terakhir yang diterimanya tadi pagi, yaitu ajakan untuk bertemu.

"Katanya lo sayang ama gue. Kalo sayang berarti ngejaga. Kalo lo sakit terus siapa yang ngejaga gue? Gue ngerasa mati rasa pas Haidar bilang lo kecelakaan." Air matanya membasahi telapak tangan Arga. Tangannya menyentuh mata, hidung, hingga ke bibir Arga. "Bahkan ketika mulut lo ga ngomong aja lo udah nyakitin gue. Lo senang ya bikin gue sakit?" Ia tertawa parau.

"Gue ga pernah mikirin Bang Varo semenjak kita pacaran. Ralat, seengganya waktu gue buat mikirin Bang Varo ga sebanyak waktu gue buat mikirin lo. Gue ga mau jatuh cinta sama orang kaya lo, tapi ternyata ga bisa. Ya lo tau lah ... Kita ga bisa mencegah kapan cinta itu datang. Cinta datang tanpa aba-aba begitu juga dengan kepergiannya."

"Waktu gue dengar Bella mau pindah ke kelas firasat gue udah ga enak. Gue ga suka dia, tapi lo malah dekat sama dia. Gue diem bukan berarti gue ga tau. Gue tau semuanya. Lo yang pergi nyari lego sama dia, lo yang makan bareng di kantin bareng dia bahkan insiden pelukan kalian di kantin sampai malam perpisahan. Gue mau marah, mau mukul lo, mau teriak tapi gue bisa apa kalo lo aja ga merasa risih atau terganggu?"

Ia terisak. Sulit rasanya berbicara ketika sedang menangis, namun entah kenapa ia bisa selancar ini, "Kenapa sayang sama orang sesakit ini? Apa setiap orang yang gue sayang emang harus pergi? Bangun, Ga. Gue mau dengar penjelasan lo. Gue mau kasih kesempatan."

RufinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang