Aku harus bagaimana?
Tak ingin berpisah
Namun hatiku berkata sudah-Yura Yunita-
•••
Semestinya tidak ada alasan bagi Rufina untuk meringkuk dan menangisi kisah cintanya karena ia sendiri yang memutuskan semua ini. Iya, itu semestinya. Pada kenyataannya hal yang terjadi justru sebaliknya. Rufina tengah berbaring menghadap sisi kosong di tempat tidurnya dengan tangan kiri yang ditekuk sebagai tumpuan kepala.
Tepat beberapa meter di samping kepala, ia membiarkan ponselnya memutarkan lagu-lagu galau bersamaan dengan sebuah foto polaroid di sampingnya. Meski sosok di foto itu samar dilihat lantaran genangan air mata yang turun, Rufina masih bisa melihat jelas senyum ceria lelaki itu. Hanya itu yang ia punya sebagai kenangan. Rufina meringkuk dan menangisi hal-hal yang seharusnya tidak ditangisi.
Ia tidak bisa menyangkal lagi bahwa Arga sudah tanpa izin memasuki hatinya dan menetap di sana meski sebelumnya ia selalu menolak dan menyatakan bahwa itu adalah kesalahan. Ia menyalahkan dirinya sendiri dan merasa mengkhianati Varo. Itu adalah alasan mengapa ia selalu menolak hatinya juga pikirannya berkata bahwa ia menyayangi Arga.
Namun, saat ia tidur kemarin malam, Varo mendatanginya dalam mimpi. Ia senang dan merasa sangat damai bertemu dengan lelaki yang disayanginya. Varo memeluknya dengan erat dan sempat mencium keningnya kemudian membisikkan, "Aku ga mau kamu sedih dan merasa bersalah terus-menerus. Aku bangga kamu bisa maafin Bunda, tapi aku pengen kamu jangan pernah merasa bersalah atau merasa mengkhianati aku hanya karena kamu sayang sama lelaki itu."
Ia menatap manik mata Varo yang tulus. Varo masih mendekapanya dan mengelus-elus punggungnya, "Rufina sayang, aku ga merasa kamu khianati. Setelah kematian aku dan Ayah kamu tidak bahagia. Jadi, saat sekarang hati kamu kembali bisa merasakan sayang, jangan kamu tolak hanya karena aku. Kita sudah berbeda alam, Sayang." Rufina tidak dapat menahan ledakan air mata yang mengalir deras. Varo melepas pelukannya, berganti menangkup wajah gadis yang menjadi cinta terakhirnya. "Sayang aku ga boleh nangis lagi, ya. Aku bahagia di sini dan kamu juga harus begitu. Jangan merasa bersalah ya, Sayang. Gadis aku selalu kuat dan akan terus begitu," putusnya dengan senyuman lalu wujud itu mendadak berganti menjadi bayang-bayang dan menghilang.
Namun, sekarang, di saat ia sudah sadar tentang perasaannya, justru Argalah yang membuatnya ragu dan tak yakin. Lelaki itu kerap kali mengirimkan pesan bahkan lebih sering dari biasanya. Menanyakan banyak hal tidak penting yang sebelumnya tidak pernah ditanyakan, tetapi Rufina mengabaikan itu semua.
Dalam kamar yang sumber penerangannya hanya berasal dari sinar bulan yang merambat masuk melalui ventilasi, ia menangis dalam diam.
***
Kepulangannya dari Bandung menimbulkan banyak pertanyaan bagi Rina. Ia melihat putrinya lebih banyak murung dan tak banyak bicara. Sekarang jarum jam pendek sudah menunjukkan stengah 6 pagi. Rina berniat mengajak putrinya berjalan di sekitar taman. Siapa tahu dengan menghirup udara pagi dapat mengembalikan mood putrinya.
Rina mengetuk pintu kamar kayu tersebut. Berkali-kali dilakukan tak kunjung mendapat jawaban, di situlah wanita paruh baya itu masuk dan mendekat. Senyumnya pudar saat melihat sebuah foto polaroid tepat di samping kepala putrinya berdampingan juga dengan ponsel yang masih memutarkan lagu.
Menyalakan lagu sampai pagi merupakan kebiasaan putrinya saat ia tidak dapat lagi memendam kesedihannya, seperti saat Rufina kehilangan ayahnya, Varo, diikuti ibunya yang menghilang entah kemana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rufina
Teen FictionAmazing cover by @unicorngraph Karena Arga, Rufina harus terlibat taruhan bodoh dengannya. Bayangkan, dua rival ini harus berada dalam satu hubungan yang bernama jadian. Apa jadinya? Apakah benar pepatah 'Perasaan seseorang berubah seiring berjalan...