A simple line can make you laugh or cry
-Westlife-
•••
Semua murid terlihat tegang. Bagaimana mana tidak? Pa Guntur -guru Matematika Peminatan- masuk dan tanpa basa basi langsung melakukan kuis dadakan. Beliau tidak pernah membawa buku atau sejenisnya ke dalam kelas. Tangannya kosong melompong karena materi yang ia ajarkan mungkin sudah di luar kepala. Tak ada yang berani membantah atau melakukan negosiasi karena guru yang satu ini terkenal dengan ketegasannya.
Walau otak Rufina dapat dikatakan cerdas, tetapi ia tetap takut dengan soal-soal yang Pa Guntur berikan karena soal yang biasa diberikan adalah soal-soal SBMPTN dan olimpiade. Selesai membagikan soal, hampir semua popluasi di kelas mengerutkan kening kala mata mereka menatap kertas di hadapan mereka.
Rufina sibuk mengingat-ingat rumus yang diberikan minggu lalu. Begitu juga dengan teman-temannya yang memaksa otak masing-masing untuk berpikir, lebih tepatnya pura-pura berpikir karena tidak paham.
Sebuah gumpalan kertas menyentuh punggungnya. Ia menoleh dan mengedarkan mata untuk mencari tahu siapa yang melemparnya. Arga melambaikan tangannya secara rendah saat Rufina menoleh.
"Nomor 2 berapa?" tanyanya sambil mengisyaratkan huruf V lewat jari dan gerakan bibir. Rufina menoleh ke kertasnya sebentar. "Sepuluh pangkat tiga," ejanya pelan berharap gerakan mulutnya dapat dipahami oleh lelaki tersebut.
Arga membuka mulutnya lebar-lebar. "Hah?" tanyanya tanpa suara.
Rufina mengangkat ke sepuluh jarinya, "Sepuluh pang--"
"Kamu ngapain Rufina?" Suara itu terdengar lebih menyeramkan dari sebelumnya. Rufina gamang. Ia menelan salivanya susah payah dan berbalik perlahan menghadap ke depan.
Ingat! Pa Guntur tidak pernah memberikan toleransi dengan murid manapun. Rufina sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Silakan keluar! Kamu tahu saya tidak suka murid yang menyontek."
"Ta--"
"Saya suruh keluar sekarang ya keluar! Atau saya panggil orang tua kamu?"
Bukan hanya Rufina yang merasa atmosfer kelas berubah, tetapi semuanya. Dengan posisi semula dan pura-pura fokus pada soal di depannya Sarah mulai berbicara pelan, "Ruf, keluar aja sekarang. Nilai lo bakal lebih ancur lagi kalo lo bales perintahnya dia. Lo taukan guntur geledek ini ga terima alasan apa pun?" Dengan takut gadis itu berdiri.
"Saya juga salah, Pak. Berarti saya juga harus keluarkan?" Suara berat Arga membuat semua murid terkejut tanpa terkecuali Rufina.
"Kalian berdua buat saya pusing aja. Sekarang kalian berdua keluar dan bersihkan ruang janitor!"
"Biasanya toilet, Pak," koreksi Arga tanpa takut.
"Kamu melawan? Mau saya tambahin?"
Arga menggeleng. "Oke. Saya ke ruang janitor dulu ya, Pak."
Kaki jenjang itu melangkah keluar kelas. "Rufina, ngapain kamu bengong? Saya bilang kamu juga bersihin ruang janitor sana."
Rufina mengangguk kikuk dan mengikuti Arga. "Lo ngapain ngajuin diri juga? Mau jadi pahlawan kesiangan atau caper?" ketusnya. Ia jadi tidak enak dengan siswi di kelasnya yang mungkin memiliki rasa pada Arga.
"Ya kali gue caper. Gue cuma ga mau aja ketika gue salah yang dihukum orang lain." Saat ini langkah mereka berdua sudah sejajar.
"Ya jadi kenapa ga lo bilang aja kalo lo yang salah biar gue bisa lanjut ngerjain soal tadi. Lumayan nambah nilai," timpalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rufina
Teen FictionAmazing cover by @unicorngraph Karena Arga, Rufina harus terlibat taruhan bodoh dengannya. Bayangkan, dua rival ini harus berada dalam satu hubungan yang bernama jadian. Apa jadinya? Apakah benar pepatah 'Perasaan seseorang berubah seiring berjalan...