Torehan Luka

288 33 7
                                    

Kita sedang mempertahankan hubungan
Atau hanya sekedar menunda perpisahan?

-Judika-

•••

Tanpa aba-aba, Bella menariknya sedikit jauh dari panggung lalu memeluknya dengan erat. Namun, tubuhnya hampir terjengkang saat sesuatu yang lembut menyentuh pipinya. "Lo cakep banget," pujinya dengan kekehan sebagai penutup.

Arga mendorong Bella untuk sedikit menjauh. "Sorry, Bel. Lo jangan pernah melewati batas di antara kita." Gadis itu mengepalkan tangan pada kedua sisi tubuhnya untuk meredam rasa malu atas penolakan Arga pada dirinya lalu memasang wajah bersalah. "Gue minta maaf, Ga. Gue ga maksud kaya gitu kok."

"Gue duluan," pamit Arga tanpa mau melanjutkan basa-basi dengan Bella. Ia segera menuju meja Bu Dian selaku seksi acara saat perempuan paru bayah tersebuh melambaikan tangan padanya.

Meski dengan jarak yang terbentang dan pencahayaan yang kurang begitu terang selain di atas panggung, mata Rufina mampu menangkap dengan jelas kedua sosok yang sedang bercengkerama setelah sebelumnya saling berpelukan disertai kecupan di pipi orang yang berstatus sebagai 'pacarnya'. Ia segera menarik matanya untuk tidak lagi mengamati dua orang itu.

Ia menahan segala gejolak aneh di hatinya. Kata sakit bahkan tak cukup untuk menggambarkan hancurnya dia saat ini. Ia pikir Arga akan menghampirinya setelah memberikan kata sambutan. Namun, ia salah. Ia salah paham juga dengan sikap Arga belakangan ini. Ia terlalu percaya diri sampai-sampai kepercayaan dirinya menghempaskan dirinya ke jurang paling dasar. Bahkan ia hampir lupa bahwa sebelum ini pun Arga pernah menyakiti hatinya dengan perempuan itu.

Tentu bukan perkara mudah untuk menguatkan diri kala hatimu benar-benar ingin menyerah. Raya, salah satu tim time keeper, menyenggol lengannya sampai kertas berlaminating di tangannya terhempas begitu saja. "Ruf kenapa?"

Rufina menggeleng, menunduk, dan meraih kertas yang terjatuh dengan tangan terkokol. Ia butuh tempat untuk menenangkan diri dan membiarkan air mata yang menggenang luruh. "Raya tolong handle dulu. Barang gue ketinggalan di kamar." Raya belum sempat menjawab, namun Rufina sudah menghilang.

Dengan langkah berat, Rufina menuju lift dan menekan salah satu angka yang ada. Beruntung sekali cardlock kamar dipegang olehnya. Ia semakin mempercepat langkahnya. Sampai di depan kamar, tangannya meraih kartu dan menempelkannya pada sensor.

Rufina membuka akses listrik di kamar lalu menjatuhkan diri pada dinginnya lantai. Ia melempar sepatunya asal, menekuk kedua kakinya, dan menenggelamkamnya di sana. Air matanya bergulir turun. Ia terjebak dalam kungkungan harapan dan juga rasa sakit. Di saat ia mulai meyakini diri untuk siap membuka hatinya kembali, lelaki yang ia harapkan justru mencampakkannya.

Atau selama ini hanya dirinya saja yang terlalu berharap?

Tangisannya terdengar sangat memilukan, membuat siapa pun yang mendengar tahu bahwa dirinya sedang dalam keadaan paling tersakiti. Panas di hatinya juga tak kunjung reda. Rufina menebah dadanya sendiri, berharap rasa sakit yang memenuhi hatinya bisa sirna dengan mudah.

RufinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang