Oh lights go down in the moment we're lost and found
- Birdy-
•••
"Kata Dina, Bunda pulang?"
Rufina mengangguk tanpa menoleh. Ia fokus pada minuman kaleng di tangan. "Terus, lo udah maafin Bunda?" tanyanya hati-hati, tetapi lebih terdengar seperti bisikan. Biar bagaimana pun Rufina punya privasi yang tidak harus diganggu. Hari ini mereka putuskan untuk menghabiskan waktu bersama di mal ternama. "Gue ... gue ga tau. Gue masih butuh waktu Sar buat terima semua ini."
Sarah menggeleng kuat-kuat. "Lo keliru. Lo bukan butuh waktu buat maafin Bunda, tapi lo memang berusaha menutup hati supaya lo bisa terima kenyataan dan maafin Bunda," bantah gadis berambut panjang itu dengan tegas.
Rufina terdiam. Pasalnya ucapan Sarah ada benarnya. "Kita udah kenal dari kecil, Na. Gue udah kenal lo lebih dari apa yang lo tahu. Gue tahu bahwa sebenarnya lo masih sayang sama Bunda bahkan hati lo sendiri menolak supaya lo ga dendam sama dia. Hati lo berusaha untuk memaafkan, tapi lo malah maksa pikiran lo supaya membenci dia. Lo terlalu apati kalo kaya gini." Sarah tidak marah. Ia hanya berusaha untuk menyadarkan bahwa Rufina keliru.
"Penyesalan selalu datang terakhir kalau lo lupa."
Rufina gamang. Wajahnya tertekuk lesu.
Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berjalan dan memilih duduk di samping Rufina. Ia menatap gadis itu dari samping. "Kalau mau nangis tumpahin aja semuanya."
"Gue... gue butuh waktu. Tolong biarin gue mikirin semuanya matang-matang."
Sarah menarik Rufina untuk mendekat lalu memeluknya. "Jangan jadi orang yang egosentris."
***
Tepat pukul setengah enam ini Rufina masih pulas di tempat tidur dengan posisi membelakangi gorden biru muda.
Gadis itu menggeliat di kasur karena ponselnya terus berbunyi keras. Tanpa melihat id caller, ia menggulir layar ponsel dan meletakkan di telinga kanannya dengan malas. "Halo," ucapnya serak, khas suara orang baru bangun tidur.
"Lo masih tidur? Kebo deh." Suara di ujung sana tidak asing baginya. Barulah ia menilik siapa orang yang berani mengganggu Sabtu paginya. "Masih pagi ga usah ganggu!" titahnya sengit dengan mata tertutup.
"Mau ke Dufan ga?" Matanya terbuka lebar-lebar meski enggan ketika mendengar tempat hiburan yang letaknya di Kompleks Taman Impian Jaya Ancol.
"Lo becanda, ya?" ketusnya.
"Ya masa becanda. Gue serius ini. Kalo ga mau biar gue ajak cewe lain," godanya. Mood Rufina seketika menurun drastis. Telepon tersebut ia matikan secara sepihak.
"Ya alam semesta, tolong sadarkan aku bahwa yang tadi hanya mimpi!" Ia menyesali keputusan bodohnya untuk mematikan telepon apalagi semua terjadi ketika Arga baru selesai mengatakan akan mengajak perempuan lain.
Ponselnya ia kembalikan di laci pertama, tepat sebelah kanan lalu kembali bergelung di dalam selimut.
"Bodo amat ah. Siapa suruh ganggu orang baru bangun tidur."
Lalu mata cokelatnya kembali tertutup.
***
"Cemburu?"
Senyum Arga terbit ketika seseorang di sana mematikan telepon secara sepihak. Suara gantungan yang saling bergesakan di dalam lemari mengisi ruangan lima kali lima meter ini. Pilihannya jatuh pada kemeja dongker-warna kesukaannya- dengan jeans berwarna senada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rufina
Teen FictionAmazing cover by @unicorngraph Karena Arga, Rufina harus terlibat taruhan bodoh dengannya. Bayangkan, dua rival ini harus berada dalam satu hubungan yang bernama jadian. Apa jadinya? Apakah benar pepatah 'Perasaan seseorang berubah seiring berjalan...