Kebenaran

287 31 2
                                    

The way I feel for you
Is unlike any other thing

-Andrew Garcia-

•••

Sampai hampir dua minggu setelahnya, sikap Arga dan Rufina tetap sama. Mereka tidak banyak bicara, hanya sekadar basa-basi sewaktu perjalanan menuju rumah. Saat berkumpul untuk persiapan graduation yang sebentar lagi pun mereka lebih banyak diam. Rufina sebenarnya pernah meminta untuk Arga berhenti menjemputnya, namun Arga tetaplah Arga. Keras kepalanya bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi.

Di mobil pun keadaan tetap sama. Hanya alunan musik yang mengisi keheningan dengan mereka berdua yang saling sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing. Meski hatinya masih terasa sakit, Rufina berinisiatif untuk menghentikkan perang dingin ini.

Gadis itu sudah memikirkan keputusannya dengan saksama. Untuk apa pun risikonya ia harus siap. Jika memang tidak bisa seperti dulu, setidaknya hatinya tidak lagi dirundung pengharapan dan rasa kecewa. Lagipula, hubungannya memang akan selalu seperti ini. Berakhir dengan pilu.

Rufina mulai memberanikan diri untuk berbicara pada Arga yang hanya fokus pada jalan di depannya. Kepalanya menoleh 90° ke kanan.

"Arga," pintanya pelan.

Lelaki itu hanya bergumam. Bahkan, ia lakukan hal tersebut tanpa menoleh. Matanya lurus menatap jalanan yang membuat nyali Rufina menciut.

"Boleh antar gue ke suatu tempat?"

"Tunjukin aja arahnya."

Rufina tersenyum miris mendengar nada cuek dan dingin itu. Sepanjang perjalanan hanya suara Rufina yang terdengar untuk memberi tahu kearah mana mereka harus melaju.

Arga mengernyit saat sadar di mana mereka sedang berpijak. Rufina menoleh ke belakang tepat di mana Arga sedang menatapnya dengan penuh tanya.

"Ikut aja. Nanti lo bakal tau sendiri." Gadis itu kembali menghadap ke depan dan melangkah. Ia sempat membeli bunga dan air yang memang disediakan di depan tempat ini. Beruntung cuaca siang ini tidak begitu terik sehingga mereka tidak perlu menahan sengatan panas dari matahari.

Gadis itu duduk, menempatkan diri di tengah dua gundukan tanah yang sudah dihapalnya. Senyumnya tak hilang kala menatap kedua nama yang tertulis di papan nisan. Arga terperanjat saat ia kembali mendengar suara Rufina yang memintanya untuk ikut duduk.

Keterkejutannya tidak cukup sampai situ. Arga terperangah ketika melihat ukiran nama 'Pradana' di salah satu papan nisan yang sedang ia perhatikan. Ia ikut duduk, membiarkan celana abunya kotor begitu juga dengan Rufina.

"Ini makam Ayah," ujarnya.

Ia masih tetap fokus pada makam di sampingnya. "Ayah itu lelaki paling baik yang pernah gua kenal. Ga pernah nyakitin Adina, ga pernah nyakitin gue, apalagi Bunda. Beliau lelaki yang penyayang banget dan pembawaannya hangat. Ayah selalu tau gimana cara nenangin Bunda yang lagi marah. Dia sabar dan ga pernah marah," tuturnya dengan lancar kendati suaranya mulai menyerak.

"Boleh tau kenapa Ayah meninggal?"

Rufina mendongak, menatap manik mata Arga yang tidak ia sangka akan buka suara. "Ayah meninggal 3 tahun yang lalu karena kecelakaan."

RufinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang