DUA PULUH LIMA

114 51 10
                                    

Sore ini Fanisa berniat pergi ke acara arisan teman sosialitanya. Gaya wanita paruh baya itu sudah seperti istri sultan. Dari ujung kepala sampai kaki barang yang dipakai adalah barang branded.

Sesekali ia mendengarkan sesuatu dari ponselnya, seketika wajah wanita paruh baya itu berubah dingin waktu mendengarkannya. Entah apa yang kini ia dengarkan.

"Ada apa sayang?" tanya Haris, sudah jelas siapa yang menyetir.

"Bisa gak sih kamu langsung bunuh Malik?!" seketika intonasi Fanisa tinggi.

"Kamu kayaknya gak percaya sepenuhnya sama aku, emang ada apa?" tanya Haris yang fokus menyetir, sesekali ia melirik ke arah Fanisa dari kaca spion depan.

"Kamu dengar! dengar ini baik baik." Fanisa mengotak ngatik ponselnya dan tak lupa membesarkan volume.

"Hari ini sampai minggu depan Malik ada ujian, tolong kasih uang ini ke dia, ya? saya gak mau ujian Malik terbengkalai."

"Baik Tuan, nanti saya kasih ini ke Malik."

"Saya mau ketemu Malik, saya sayang betul sama anak sulung saya, Rasya pun begitu... Tapi entah kenapa saya seperti ini."

"4 bulan lagi Malik lulus sekolah, saya gak atur dia mau kuliah atau langsung bekerja. Kalau dia mau bekerja, saya mau bimbing dia agar menjadi pengusaha terhebat."

Wajah Haris juga ikut dingin setelah mendengar rekaman itu.

"Gak sia sia aku taruh rekaman suara di bawah kasur Daru." ujar Fanisa yang kini membanting ponsel begitu saja sebab amarahnya yang membludak.

"Supir sialan itu harus mendapat pelajaran." ucap Haris.

"Dia sebagai perantara agar Daru dan Malik bisa berkomunikasi, aku akan singkirkan orang itu." rahang Haris mengeras dan ia juga memukul keras stir yang kini ada di hadapannya itu.

"Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan!" perintah Fanisa yang menatap Haris tajam.

🐳🐳🐳

Hari ini Anara tampak tidak seperti biasa nya, wajah gadis itu terlihat lesu dan pucat bahkan saat mengerjakan ujian saja tidak memiliki konsentrasi yang penuh seperti biasanya.

"Nara, lo okai?" tanya Indy yang sedari tidak yakin, gadis itu terus melihat wajah Anara penuh rasa kecemasan.

"Hem ya... i'm okay." jawab Anara penuh keyakinan.

"Tapi muka lo pucet banget." ujar Indy.

"Gue gak pakai liptint tadi makanya keliaten pucet." Anara berbohong, padahal ia merasakan sakit yang luar biasa di ubun ubun kepalanya.

"Ndy bentar ya, gue mau ke toilet dulu." selepas itu Anara beranjak dari mejanya kemudian keluar menuju toilet lantai bawah.

******

"Makanya lain kali lo denger dulu apa kata Anara, ini main marah gak jelas." omel Vedro, sekarang lelaki itu sedang memarahi Malik.

"Kalo gue gak deket ya sama lo, udah gue tonjokin lo Lik." celetuk Bagas. Dari kemarin lelaki itu sudah geram melihat sikap Malik.

"Kasih paham, Gas." ujar Fathur sembari menghembuskan asap rokok.

"Iya, gue salah." balas Malik, lelaki itu sadar akan kesalahannya, bahkan Malik berpikir sudah melakukan tindakan bodoh kepada Anara.

Sang Derana [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang