- TIGA PULUH TUJUH

99 52 2
                                        

Pagi ini adalah hari yang sangat hampa bagi Malik, mulai saat ini ia kehilangan sosok super heronya. Jika hari ini bukan Ujian Sekolah, dapat dipastikan Malik sudah berada di luar sekolah.

"Gue turut berduka." ucap Fathur yang datang menghampiri Malik di belakang sekolah.

Sama seperti Malik, ketiga sahabatnya itu memasang wajah sedih. Fathur yang selalu membuat suasana menjadi lebih baik justru sekarang hanya diam.

"Yang sabar, Lik." ucap Bagas sambil menepuk pelan pundak Malik yang rapuh.

Vedeo tidak bisa berkata kata melihat keadaan Malik saat ini. Pikir Vedro, dunia benar benar jahat pada sahabatnya. Disaat Malik baru berduka, karena kehilangan Nanang dan saat ini Malik harus merasakan lagi kehilangan pada sang ayah.

"Kapan Ayah lo dimakamin?" tanya Vedro.

"Besok." jawab Malik singkat.

Mereka bertiga dibuat heran, bagaimana bisa waktu pemakaman harus menunggu esok hari.

"Gue salah ya lakuin otopsi ke Ayah gue sendiri?" tanya Malik. Ia menunduk menatap ke arah sepatu vans yang ia kenakan.

"Bentar.. Kenapa harus otopsi?" tanya Bagas bingung.

"Dokter analisis, kalau kematian ayah gue karena serangan jantung, tapi gue yakin analisis itu salah." jawab Malik.

"Keputusan lo buat otopsi udah jadi keputusan yang bener, gua kalau jadi lo bakalan lakuin hal yang sama." saut Fathur. Lelaki itu memberi dorongan untuk Malik.

"Lagian cuma dengan cara itu kita bisa tau, apa penyebab bokap lo bisa meninggal." tambah Fathur.

"Berarti hari ini otopsi?" tanya Vedro.

"Iya, nanti siang." jawab Malik.

"Gue ikut kalau gitu." ucap Vedro.

"Gue sama Fathur juga." tambah Bagas.

********

Bel masuk pun berbunyi di mana semua Siswa Siswi sudah harus masuk ruangan masing masing untuk mengerjakan soal soal ujian. Wajah Malik semakin berantakan, karena melihat banyak coklat dan beberapa surat semangat dari penggemarnya. Bukan sombong, justru hal itu membuat Malik tidak nyaman.

"Ayo anak anak siapkan alat tulisnya dan jangan ada yang mencontek, ya!" ucap Petro selaku pengawas ujian.

Dari kejauhan Anara menatap Malik, gadis itu sangat sedih melihat Malik harus ditinggal oleh orang orang yang ia sayang. Sedari semalam Anara mengirimkan pesan, tetapi sama sekali belum ada jawaban sampai sekarang.

Dari kejauhan Petro melihat Malik dengan lamunan yang kosong begitu juga denfan kedua matanya. Malik menatap lurus ke depan tanpa mengedip sama sekali, entah apa yang sedang Malik pikirkan.

"Yah, gimana sekarang di sana?" batin Malik.

Lelaki itu memikirkan sang ayah.

"Malik!" Petro memanggil nama lelaki itu.

Anara yang fokus mengerjakan soal, tiba tiba menoleh ke arah Malik yang sedang melamun.

"Malik." lagi lagi Petro memanggil.

"MALIIKKK!!" bergantian kini seisi kelas meneriaki namanya, sampai sampai yang punya nama tersentak kaget. Pandangannya terkunci pada Petro yang kini berjalan mendekat ke arahnya.

"Yang lain kerjakan soalnya." titah Petro.

"Kenapa melamun, nak?" tanya Petro sangat lembut, biasanya guru guru yang lain akan melempar Malik menggunakan penghapus papan tulis.

Sang Derana [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang