Empat

41.7K 5.8K 189
                                    

Happy Reading

Matahari belum terlalu tinggi membayang di langit, tapi Bread Corner - toko roti tempat Gianna bekerja - sudah ramai pengunjung. Apakah ini Hari Roti sedunia?

Bukan hanya dirinya yang sibuk, Dave sempat kelimpungan di dapur karena harus berkali-kali membuat adonan baru. Untung Martin datang dan membantunya mengurus kasir, jadi dia bisa membantu Dave membungkus roti dan kue di belakang.

Pegawai Martin memang hanya mereka berdua. Hari-hari biasa berduapun mereka sering punya waktu luang, jadi tidak ada alasan untuk menambah karyawan.

"Tanganku rasanya mau lepas," keluh Gianna saat pengunjung sudah sepi.

"Rasanya hampir mati!" Dave yang baru keluar dari dapur juga mengeluhkan hal yang sama.

Mendengar gerutuan pegawainya, Martin hanya terkekeh. Dia tak pernah marah ataupun tersinggung meskipun mereka suka mengomel tentang pekerjaan.

"Malam ini aku traktir makan," sahut Martin, anggap sebagai bonus karena hari ini mereka bekerja keras.

"Harus ke restoran mahal," ujar Gianna songong. Dave mengajaknya high-five.

"Deal," jawab Martin sembari tersenyum. Matanya melirik jam Rolex di pergelangan tangan kirinya. "Green, bukankah kau harus pergi ke suatu tempat?"

Tangan Gianna yang sedang merapikan susunan kue di etalase terhenti. Dahinya berkerut seperti sedang mengingat sesuatu.

"Astaga! Jam berapa ini?" Gianna menepuk kening setelah berhasil mengingatnya.

"Jam 3. Pergilah. Pengunjung juga sepertinya tak akan seramai tadi," sahut Martin.

Dengan cepat Gianna melepas apron dan medorongnya ke laci meja kasir. Lalu berlari ke lokernya untuk mengambil tas.

"Aku pergi sebentar. Bye!" pamitnya pada Martin dan Dave yang melambaikan tangan dengan tatapan hangat.

Gianna mengatur nafasnya yang terengah ketika sudah di dalam bis. Kalau tadi dia tidak berlari, pasti dia akan tertinggal. Setelah duduk, dia mulai merutuki dirinya karena melupakan hari ini.

Setiap hari jumat di minggu terakhir tiap bulannya, Gianna akan pergi ke rumah lamanya di daerah Blairsville. Rumah itu adalah rumah peninggalan orang tuanya. Disanalah semua kenangan indah bersama orang tua dan adiknya tercipta.

Tak ingin berlama-lama di sana karena harus segera kembali ke toko, Gianna langsung berjalan menuju sebuah jalan setapak yang tak terlalu jauh dari perumahan warga.

Kanan kiri jalan setapak itu adalah hutan. Di tempat ini, adik kesayangannya meregang nyawa sendirian. Ah tidak. Arthur bukannya sendirian saat mati, teman-temanya ada di sana, hanya tertawa melihatnya kesakitan sembari menunggu kematian.

"Hei. Aku datang," sapa Gianna pada gundukan batu. Dulu dia sengaja menaruh beberapa batu sebagai tanda kenangan.

"Kenapa diam saja? Kau marah karena aku datang terlambat?" Gianna mulai bermonolog.

"Maaf. Hari ini toko Martin ramai sekali jadi aku lupa hehe," matanya mulai berkaca-kaca.

Semakin melankolis, Gianna duduk di tanah dengan kaki tertekuk di depan dada. Mencoba menikmati angin yang berhembus, bulu kuduknya meremang. Perlahan tangan lentiknya mengusap gundukan batu itu, berharap bisa merasakan keberadaan adiknya.

FOUR (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang