Satu

89.9K 8.7K 639
                                    

Happy reading

Georgia, Amerika Serikat

Dor!

Sebuah peluru kaliber melesat ke arah ruangan yang berada di lantai 40 gedung hotel yang berjarak 2 km dari si penembak. Butir peluru itu dengan cepat menembus jendela kaca dan sangat tepat mengenai kepala seseorang yang berada di ruangan itu, Alexander Brown. Bibir si penembak tertarik ke atas saat melihat targetnya tumbang dengan segelas wine di tangannya.

"211 clear," ucapnya sambil memegang telinga kanannya yang terpasang earpiece.

Dirasa pekerjaannya beres, snipper itu langsung menaruh senapan Runduk SPR 3 miliknya ke dalam box kayu yang berada di sampingnya. Melepas sarung tangan kain yang melindungi jemarinya lalu melemparnya.

Sebelum membuka pintu dia membuang nafas, dilepasnya ikatan di rambut panjangnya baru kemudian melenggang turun dari atap gedung yang menjadi saksi pekerjaanya.

***

Gianna menggaruk perutnya yang ditutupi kaos putih tipis dengan size kedodoran. Ujung matanya berair karena semenjak membuka mata, mulutnya terus menguap.

Dengan gerakan malas, dia mengambil susu dari lemari es kemudian menuangkan cereal dari kotaknya dengan berantakan karena matanya sedikit tertutup. Dia masih sangat mengantuk.

Dipungutnya cereal yang berceceran di meja dan memasukannya ke mulut, baru dia menuang susu dingin itu ke mangkuknya.

Beginilah rutinitas sarapan gadis berumur 19 tahun itu setiap hari, sendirian, di rumah berlantai satu yang biasa-biasa saja. Gianna bukannya tak mau menempati rumah mewah peninggalan orang tua angkatnya yang sudah meninggal, tapi karena rumah itu terlalu mencolok. Sedangkan Gianna diharuskan hidup diam-diam.

Pip pip...

Suara alarm di ponselnya membuat gadis itu melirik. Sarapannya sudah terlalu siang, buru-buru dia menyeruput sisa susu yang ada di mangkuk sampai tandas. Kemudian dengan langkah riang, dia pergi mandi.

Tak butuh waktu lama untuk gadis sepertinya bersiap-siap dan pergi ke tempat yang menjadi tujuannya hari ini. Sebuah toko roti yang ada di persimpangan jalan, hanya butuh sekitar 30 menit dengan berjalan kaki dari rumahnya.

"Morning, Dave," sapanya ramah saat masuk dan melihat rekan kerjanya sedang menata roti di etalase.

Aroma roti yang baru di panggang langsung menelusup manja ke lubang hidungnya.

"Morning, Giant," balas Dave tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan Corn Bread yang sedang di susunnya.

"Stop call me Giant!" sungut Gianna.

"Oke, darling," kali ini Dave menoleh.

"Argh! Call me Giant, please."

Dave terkekeh melihat ekspresi marah Gianna yang lucu. Selalu seperti ini, setiap kali mereka saling menyapa saat bertemu. Gianna melengos dan memilih untuk pergi ke loker, mengganti baju dan memakai apron putih untuk menutupi bagian depan seragamnya.

Sekarang Gianna sudah berdiri di depan mesin kasir, merapikan ikatan rambutnya dan memoles sedikit bibirnya dengan lipbalm yang ia simpan di saku celana jeansnya.

"Sudah cantik."

Mendengar pujian itu, Gianna menurunkan cermin kecil yang menutupi wajahnya. Dengan senyum manis dan ditambah kerlingan di mata, mencoba menggoda Dave "Thank you. Haruskah aku pergi mencari teman kencan saja hari ini?"

FOUR (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang