Lima puluh

29.5K 4.7K 533
                                    

WARNING :
Bab ini panjang sumpah
Maafkan saya ya, soalnya ga enak kalo digantungin tuh 🙂

😈Happy Reading😈

Siang itu, setelah jam istirahat pertama, Joseph terlihat memasuki kelas sendirian. Dia tidak pergi ke kantin, dan memilih makan di warung Bu Iis bersama para adik kelas yang baru dikenalnya tadi.

Sudah hari ke-3 dan Joseph belum berbaikan dengan Gibran. Walau dia tahu kalau Gibran beberapa kali seperti ingin mengajaknya berbicara.

Tak lama Joseph masuk, El dan Damian juga masuk ke kelas. Untung saja Joseph duduk bersama El, sehingga saat bertengkar dengan Gibran, dirinya tak perlu berpindah bangku.

"Dari mana?" tanya El pada Joseph karena tadi tak melihatnya di kantin.

"Bu Iis," jawab Joseph singkat yang diangguki oleh El.

"Nanti sore kita pada mau latihan basket," ujar El memberitahu.

Joseph tidak merespon. Lelaki itu sibuk memainkan ponselnya sambil menempelkan punggung di kursi. El menghela nafas pelan melihat Joseph yang sepertinya tak tertarik untuk mengobrol. Padahal biasanya El yang jarang bicara, tapi sekarang kawan sebangkunya juga turut jadi pendiam.

Damian yang mengetahuinya, hanya bisa mengedikan bahu saat El menatapnya. Joseph memang sedikit berubah setelah kejadian hari itu. Siapa yang tidak marah jika sahabat sendiri tak memahami perasaannya. Atau setidaknya mengerti keadannya supaya bisa berpikir dulu sebelum berbicara.

Suasana kelas makin ramai ketika anak-anak lain masuk sekembalinya dari kantin sebab sebentar lagi bel akan segera berbunyi.

Irish melirik ke arah Joseph, merasa sedikit aneh karena sudah lama tidak mendengar lawakan Joseph. Hal yang sama dirasakan Gabby, Vio dan juga Cici. Bukan hanya mereka, tapi teman sekelas juga merindukan sifat tengil Joseph.

Haruskah mereka ikut campur dalam urusan Joseph dengan Gibran? Membantu mereka berbaikan misalnya.

"Mukanya Joseph surem mulu. Gantengnya ilang," celetuk Cici sambil memandang sendu ke arah Joseph.

"Iyah. Jadi ngerasa aneh liat Joseph yang biasanya petakilan sekarang jadi diem gini," timpal Gabby dan diiyakan Irish serta Vio.

Irish menengok ke arah meja belakangnya. "Dam, Gibran mana?"

"Gak tau," sahut Damian tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel.

"Ck. Lo gimana sih? Sahabat lagi marahan gitu malah dibiarin aja," cetus Gabby seraya mengeplak lengan Damian membuat si empu menatapnya tajam.

"Ya, terus gue harus kayang gitu?"

"Gak gitu juga, duriduridam," Gabby mendelik.

"Duriduridam dam duriduri dam. Duriduridam dam duriduri dam," tiba-tiba Samuel bernyanyi meneruskan plesetan nama Damian yang dibuat Gabby barusan. "Kamu makannya apa —."

"TEMPE!" sahut anak lain yang mendengar nyanyian Samuel.

"Saya juru masaknya. Ad—."

"Gak jadi gak jadi. Kalau juru masaknya lo, gue gak mau makan," potong Dicki cepat. "Pasti gak enak."

"Weh sembarangan. Gini-gini gue pinter masak. Gak nyangka kan lo?"

Dicki mengangguk mantap. "Gak nyangka banget sampe gue pun gak percaya."

"Lo bisa masak?" tanya Irish menatap Samuel sangsi.

Samuel yang tadinya mencak-mencak pada Dicki langsung mengubah raut wajah dan tersenyum lebar pada Irish. "Bisa dong. Irish cantik mau dimasakin?"

"Enggak," sahut Irish jutek membuat Samuel cemberut.

"Eh, Sam. Lo suka sama Irish, ya?" tanya Vio blak-blakan.

Sebagai pihak yang ditanya, Samuel mendadak malu, apalagi semua teman sekelas mendengar pertanyaan Vio. Mereka menatap Samuel menunggu jawaban. Meski benar bahwa Samuel menyukai Irish tapi lelaki itu terlalu malu untuk mengatakannya.

Bukan hanya Samuel, Irish juga mendadak ikut malu. Matanya mendelik pada Vio. "Jangan aneh-aneh, Vi!"

"Malu ya lo? Cie," ledek Vio menjadi-jadi.

"Ih, Irish mukanya merah," Cici ikut mengompori.

Akhirnya mereka semua berakhir dengan menggoda Irish dan Samuel yang nampak salah tingkah.

Mendengar keributan teman-temannya, Joseph hanya mengangkat kepala sebentar untuk tahu hal apa yang membuat mereka begitu heboh. Setelahnya dia kembali berkutat dengan game di ponsel.

Tiba-tiba suasana hening ketika Gibran masuk kelas dengan wajah kaku. Bagaimana tidak, Gibran yang baru saja masuk tanpa tedeng aling-aling menghampiri meja Joseph, menekuk lutut dengan kedua tangan mencengkram paha, bersimpuh di samping Joseph.

Semua yang melihat kaget, begitupun Joseph. Tapi lelaki itu sedang menjaga gengsi dengan tetap mempertahankan ekspresi. Melirik sekilas, Joseph tetap fokus pada aktivitasnya.

Hampir semenit Gibran belum juga mengeluarkan suara, kepalanya masih menunduk dengan mulut komat-kamit. Damian yang ada di belakang Gibran, sudah gregetan ingin menendang punggung lelaki itu agar segera berbicara.

"Jo," panggil Gibran lirih. Joseph tak bergeming. "Joseph. Gu-gue mau minta maaf."

Baca kelanjutannya di karyakarsa.
Four versi PDF tersedia full di karya karsa dengan harga 50K 
Kalau masih bingung dengan pembeliannya, bisa DM aku di instagram atau chat di wall yaa

FOUR (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang