Delapan

35K 5.2K 104
                                    

Happy Reading

Gianna mengerjapkan mata ketika sinar matahari menyerobot masuk lewat celah tirai kamarnya yang nampak minimalis. Gadis itu beranjak dan meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

Dirasa nyawanya sudah terkumpul, Gianna melenggang ke kamar mandi untuk membersihkan muka dan gosok gigi.

Tangannya menggaruk perut sixpack-nya di balik kaos oblong hitam yang kebesaran. Padahal baru bangun tidur tapi dia belum berhenti menguap sejak membuka mata.

Menjalani rutinitas seperti biasa, Gianna menuangkan cereal dan susu ke mangkuk dan mengunyahnya dengan malas.

Pip pip...

Suara alarm dari ponselnya berbunyi dua kali. Gianna meraih ponselnya dan mengecek reminder dan to do list untuk hari ini.

Seketika matanya melebar saat melirik jam di pojok layar ponselnya.

"Duh, I'm late!" cicitnya dan bergegas mandi.

Hari ini Gianna mengakhiri masa istirahatnya di rumah. Ia harus punya pekerjaan untuk menghidupinya, bukan?

Dan di sinilah Gianna sekarang. Kakinya berdiri di depan gerbang bangunan sekolah elit yang cukup ternama di kota ini. Halcyon International High Scholl.

Sebelum melangkah, Gianna mengambil nafas dan membuangnya. Dia mengulangnya beberapa kali sampai hatinya cukup tenang. Mendadak muncul ingatan saat Zero menyuruhnya pergi ke Indonesia untuk bersembunyi dari agen federal yang tengah mencarinya.

"Kenapa aku harus pergi ke Indonesia?" tanya Gianna sambil mengerutkan kening.

"Bukankah dulu kau juga berasal dari sana?" Zero mengangkat sebelah alisnya. Dia tak sembarangan menyuruh Gianna untuk pergi begitu saja tanpa perhitungan.

Mendengar jawaban Zero, Gianna terdiam. Dia berpikir bahwa itu hanya masa lalunya yang tak perlu diingat kembali. Namun mungkin saja dia bisa mengenang sedikit ingatan itu.

"Gianna, satu hal yang perlu kau ingat. Kau sedang bersembunyi. Jadi hiduplah membaur dengan warga biasa. Jangan buat dirimu terlalu menonjol demi keselamatanmu. Simpan kekuatanmu dan hiduplah seperti orang normal."

Gianna berdecih kesal. Dia selama ini juga hidup seperti orang normal. Memangnya Zero yang seorang psikopat itu?

Lamunan Gianna buyar karena kendaraan yang mulai lalu lalang. Para siswa sudah mulai berdatangan ke sekolah. Suasana yang sepi berubah menjadi riuh karena kedatangan para siswa yang cukup heboh. Ada yang datang dengan naik motor, naik mobil atau berjalan kaki bersama teman-teman yang lain sembari berbagi cerita.

Melihat itu semua Gianna tersenyum kecut. Dia merindukan masa-masa itu bersama Arthur. Dia bahkan tak meneruskan pendidikannya untuk merencanakan balas dendam. Toh otaknya sudah encer.

Sekarang Gianna sudah berada di ruangan Kepala Sekolah. Ia duduk berseberangan dengan sang Kepala Sekolah - Alexander - yang sedang membaca berkas riwayat hidupnya.

"Ibu...Oh, Miss Valentine Garabine? Nama yang bagus" pak Alex tersenyum ramah.

Aku tidak suka nama itu. Jelek. "Terima kasih," Gianna membalas senyumannya.

"Umur anda masih sangat muda. 23 tahun?" kedua alis Pak Alexander bertaut.

Tidak. Itu terlalu tua. "Begitulah, Sir."

"Pendidikan dan prestasi anda sangat luar biasa, Miss. Seorang lulusan Universitas London mau mengajukan diri sebagai guru disini, saya sangat berterima kasih," ujar Pak Alex sungguh-sungguh.

FOUR (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang