Sepuluh

37.2K 5K 151
                                    

Happy Reading

Bagi orang normal, sekolah adalah tempat dimana mereka bisa menggali ilmu dan pengalaman. Selain itu sekolah juga tempat yang menyenangkan bagi mereka yang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menyenangkan dalam banyak hal. Seperti pertemanan dan percintaan.

Namun bagi sebagian orang, sekolah hanyalah sebuah alasan untuk mereka pergi dari rumah. Bersembunyi dari huru hura keluarga yang mungkin membelenggu.

Dan sebagian lainnya menjadikan sekolah sebagi tempat bermain. Atau mungkin mencari sensasi.

Sepanjang perjalanan ke kelas, para anggota Demons sudah menjadi pusat perhatian. Setiap hari mereka memang jadi pusat dunia Halcyon karena ketampanan dan kharisma yang mereka pancarkan.

Pagi ini, mereka - lebih tepatnya El - menjadi perhatian anak satu sekolah lantaran wajah tampannya seperti habis di koyak anjing. Lebam di sana sini dan plester yang menempel di dagu dan keningnya. Meski masih terlihat sangat tampan.

Walau para siswa Halcyon sudah hafal kelakuan geng itu - suka tawuran atau berperang. Tetap saja pemandangan seperti itu selalu menyita pandangan mereka.

"Pasti tawuran lagi!"

"Gila ya! Meski bonyok gitu muka beb El masih ganteng maksimal!"

"Iya. Gue heran itu muka kapan jeleknya!"

"Halah ganteng doang tapi otaknya gak ada. Percuma!"

"Gak capek ya jadi bodoh?"

Tanpa menghiraukan tatapan dan bisik-bisikan tentang mereka. Para anggota Demons tak jadi pergi ke kelas dan malah berbelok ke arah kantin.

Mereka langsung mengambil duduk di meja paling pojok. Membiarkan Joseph memesan sarapan untuk mereka, Damian memulai pembicaraan yang tertunda semalam karena kondisi El.

"Brengsek! Gue masih belum bisa tenang kalo belum bales mereka!" umpat Damian kesal. Matanya langsung menatap wajah El dengan serius. "Apa rencana lo?"

Meski Damian yang paling menggebu-gebu, Ia masih memghormati El sebagai pemimpin mereka. Sebab itu dia tak pernah bertindak seenaknya, kecuali kalau memang lepas kendali. Saat itupun hanya El yang bisa menenangkan Damian.

El terdiam. Dia belum memikirkan balasan apa yang tepat untuk William setelah membuatnya keluar dari jalur balap dan di hadang di tengah jalan. Malam itu sepertinya memang bukan hari keberuntungan El, karena kurang persiapan dia harus pasrah ketika teman-teman William mengeroyoknya membabi buta.

"Pantes aja mereka dateng cuma bertiga waktu itu. Ternyata emang sengaja udah ngerencanain semuanya," ujar Gibran yang juga terlihat jengkel.

"Cepet! Apa rencana lo?!" tagih Damian tak sabar.

"Sabar brengsek! Lagi mikir," El mendengus. Dia sangat tidak suka karena harus kalah dari William, maka dari itu dia harus memikirkan pembalasan yang setimpal. Mata harus dibalas mata, bukan?

Joseph kembali dengan nampan yang berisi empat mangkok bubur ayam yang memang di jual di kantin dan juga empat gelas es teh manis.

"Masih sakit, El?" tanya Joseph karena melihat El meringis saat menyuap bubur ke mulut.

"Perih dikit," jawab El jujur. Tangannya mengusap ujung bibirnya yang luka.

Tanpa bertanya lagi, Joseph memulai sarapannya. Tapi kemudian dia mendongak, dengan wajah penuh tanda tanya Ia bertanya pada El. "Kok bisa sih lo kalah?"

Mata El langsung menatap tajam ke arah Joseph yang duduk berhadapan dengannya. El yang memang sedang merutuki nasib sialnya dalam hati setelah dikalahkan William, malah makin jengkel dengan pertanyaan bodoh Joseph.

FOUR (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang