Empat puluh

28.7K 5K 439
                                    

☘️Happy Reading ☘️

Memasuki hari ke-7, Miss Valentine belum juga muncul di sekolah. Anak-anak kelas E mulai merasakan perbedaan ketika ada tidaknya guru mengerikan itu. Pengaruh kehadiran Miss Valentine mau tak mau diakui oleh para siswa badung tersebut.

"Bu Valentine resign kali ya?" tebak Gibran asal.

Empat serangkai itu sedang berada di kantin pada jam istirahat pertama. Setelah pelajaran fisika tadi, otak mereka sempat konslet sehingga tak bisa berpikir sama sekali.

Bisa dikatakan bahwa sejak Miss Valentine cuti, kenakalan anak siswa E mulai sedikit berkurang. Padahal seharusnya hal tersebut bisa jadi kesempatan untuk mereka menguasai sekolah kembali tanpa takut dihukum.

"Atau pindah tugas?" kali ini Damian yang menebak. "Mungkin ada sekolah lain yang butuh jasa Bu Valentine buat bantai anak bandel macem kita."

Ucapan Damian membuat Joseph mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Miss Valentine malam itu. Tanpa sadar, dia menelan salivanya lambat membuat jakunnya bergerak naik turun.

Bu Valentine lagi gak ngebantai adek gue kan? batin Joseph risau.

"Bolos yuk?" ajak Gibran setelah menyedot habis es jeruk di gelasnya, dia bahkan sampai mengeluarkan kata ahh dari mulut saking nikmatnya minuman itu.

"Mumpung gak ada si guru gila itu. Gimana?" lanjut Gibran menggerakan kedua alisnya naik turun.

"Boleh, sih. Selama gak ketauan, gak bakal dihukum kan? Atau karena gak ada Bu Valentine, paling dihukum hormat bendera sama Bu Sari," ujar Joseph kemudian menyenggol lengan Damian yang duduk di sebelahnya. "Oke gak?"

"Ikut aja," sahut Damian melirik El yang diam. "El?"

Sejenak El berpikir sebelum mengiyakan ajakan sahabatnya. Mungkin dengan dia bolos dan melanggar aturan sekolah lagi, guru itu akan menampakan diri. Lelaki itu malah berharap Miss Valentine datang tiba-tiba dan memberikannya hukuman.

Tidak apa kalau harus dihukum, yang terpenting guru itu kembali sehingga El bisa melihat wajah cantiknya.

Mendadak suasana kantin jadi heboh, tak jauh dari tempat duduk empat sekawan itu, sedang terjadi keributan.

"Jadi cewek murahan banget sih lo!" bentak seorang siswi dengan rambut hitam lurus bernama Tiara. "Ngapain lo deketin cowok gue?"

"Emang kenapa? Kak Andi aja gak marah kok aku deketin," sahut siswi lain yang dibentak oleh Tiara tadi. Wajahnya merah menahan malu dan kesal, tapi dia tidak ingin terlihat lemah dan dipermalukan, jadi sebisa mungkin dia membela diri.

"Terus karena dia gak marah lo makin gatel sama dia. Gitu?" Tiara tertawa tak menyangka melihat adik kelasnya ini sangat berani.

Sedangkan Andi, sosok yang sedang diributkan itu hanya duduk santai sambil memainkan ponsel, membiarkan kedua gadis tersebut adu mulut memperebutkannya. Sebenarnya dia malas harus meladeni masalah sepele seperti itu, jadi dia membiarkan sang kekasih mengurusnya.

"Kak Andi gak nolak cokelat dari aku, itu artinya dia mau sama aku. Meski kakak pacarnya, gak ada hak buat larang aku deket sama Kak Andi!"

Emosi Tiara sudah tak dapat ditahan, tangannya mengepal kemudian terangkat dan melempar telapak tangannya tepat di pipi siswi itu.

Suara tamparan terdengar keras, membuat penghuni kantin yang telah memusatkan perhatian pada kedua orang tersebut, meringis ngilu.

"Heh Raya! Gue ingetin sekali lagi, jauhin cowok gue atau lo bakal tau akibatnya!"

FOUR (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang