Happy reading
"Mengerikan!"
Dengan dahi yang mengernyit, Dave menatap layar ponselnya. Sebuah berita kasus pembunuhan muncul di artikel surat kabar online pagi ini, menjadi headline di setiap platform online.
Menurut artikel tersebut, ini adalah kasus pembunuhan yang ke 5 dalam kurun waktu dua bulan terakhir. Maraknya pembunuhan itu membuat pihak kepolisian kelimpungan mencari tersangka, karena sepertinya pelaku itu adalah orang yang sama!
"Kenapa mereka berpikir begitu?" tanya Gianna yang hanyut juga membaca artikel tersebut.
"Kau tidak lihat tanda yang ditinggalkan pelaku sama? Di TKP selalu ditemukan angka 4 yang ditulis dengan darah korban," cuit Dave menjelaskan betapa mengerikannya kasus ini.
"Tapi kenapa sampai sekarang polisi belum menemukan pelakunya? Bukankah itu bukti kalau aparat hukum di negara ini belum terlalu hebat?" sekali lagi Gianna melempar pertanyaan.
"Yah, bisa juga karena pelakunya sangat hebat. Hii...!" Dave mengedikkan bahunya ngeri lalu meninggalkan Gianna yang termangu. Dia tak ingin merusak paginya dengan terus membahas pembunuhan, melihat tempat kejadian yang terlampir di foto saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri.
"Betul. Aku memang hebat," gumam Gianna lirih, sudut bibirnya terangkat samar.
Sepulang bekerja, Gianna tak langsung kembali ke rumah. Langkah kaki membawa dirinya ke sebuah toko barang antik di kawasan Morningside.
Toko itu tak terlalu ramai di malam hari, setelah melirik ke pegawai yang bekerja, Gianna langsung menuju pintu di ujung ruangan yang bergaya klasik.
Pintu itu terhubung dengan sebuah koridor yang disorot cahaya temaram, suara sepatu yang bergesekan dengan lantai kayu menggiring Gianna pada sebuah pintu lain di sisi kanan.
"Zero memanggilku," ucapnya begitu sampai di depan pintu, dua orang penjaga berbadan super kekar dengan setelan jas hitam berdiri menghalangi pintu dimana pemimpin mereka ada di dalam sana.
"Tunggu di sini," titah salah satu bodyguard itu dengan suara berat.
Tak sampai 5 menit penjaga itu keluar dari ruangan dan memberi kode supaya Gianna masuk.
Ruangan itu tak seluas toko barang antik di depan, tapi sepertinya barang-barang di sini tak kalah antiknya. Lagipula ruangan yang Gianna masuki hanyalah ruangan utama yang di tempati pemimpin mereka, kalau menelusuri setiap koridor maka akan ditemukan ruangan lain yang bahkan lebih mengerikan.
"Zero!" panggilnya karena orang itu duduk membelakanginya.
Orang yang dipanggil Zero itu memutar kursi tingginya, dan langsung tersenyum melihat siapa yang datang. "Hai, Four. How are you?"
Gianna terkekeh "Good." Kemudian dia menuju ke sofa panjang di tengah ruangan, duduk dengan melonjorkan kakinya. Berjalan jauh untuk sampai ke tempat ini tentu saja membuat kakinya pegal.
"Kau senang?" tanya Zero, dia beranjak dari kursinya kemudian meraih sebotol Chateu Latife dan menuangkannya ke gelas.
Mengerti maksud ucapan Zero, Gianna mengangguk riang. "Sangat senang. Akhirnya semua dendamku terbalaskan," dia tertawa begitu teringat dengan orang-orang malang yang menjadi target balas dendamnya.
Gabriel adalah orang terakhir yang mati karena pelampiasan dendamnya. Setelah menunggu 3 tahun, akhirnya Gianna bisa membunuh orang-orang yang membuat adiknya - Arthur - meregang nyawa hingga menghembuskan nafas terakhir.
Masih sangat jelas diingatannya, ketika dia tak bisa berbuat apapun melihat adiknya sering dipukul dan di siksa oleh para penindas.
Dengan deraian air mata di ujung keputus asaanya, dia menemukan adiknya sudah tak bernyawa di sebuah jalan. Tubuhnya penuh lebam dan luka yang baru saja mengering. Setelah pemeriksaan, adiknya diduga meninggal karena hipotermia.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOUR (Selesai)
Teen FictionTersedia versi PDF di Karyakarsa Pembunuh bayaran jadi guru? ________ Gianna Camellia Green mendedikasikan hidupnya untuk balas dendam akan kematian sang adik karena bullying di sekolah. Sampai dirinya terjun bergabung dengan sebuah organisasi 'Cr...