Di bab ini konflik dimulai kawan
Tenang, konfliknya gak berat kok
Hanya seputar masalah anak sekolah dan keluarganya.Dan aku berharap kalian bisa menyikapinya dengan bijak.
😈Happy Reading😈
Dengan bantuan dari para guru, tantangan dari Gianna sudah mulai diberlakukan. Mengingat punishment yang diberikan, mau tak mau siswa kelas E berusaha diam menyimak setiap pelajaran meski rasa malas dan kantuk selalu menyerang.
Mengubah pola kebiasaan secara perlahan, kini para siswa kelas E selalu membiarkan guru yang mengajar keluar terlebih dahulu saat bel istirahat berbunyi.
Seperti sekarang, para siswa itu baru keluar kelas setelah Bu Gisel meninggalkan kelas.
Empat sekawan pentolan kelas E, berjalan menuju kantin dengan wajah yang teramat kusut. Jujur, melakukan hal yang tidak disukai secara terpaksa membuat mereka seperti kehilangan separuh nyawa.
Belajar membuat mereka sedikit tertekan sebab belum menemukan bagian yang menyenangkan.
"Eh, dipikir-pikir setelah gak ada si Kaiden julid, sekolah jadi lebih tenang ya hehe," celetuk Joseph sehabis memesan makanan untuk mereka berempat.
"Ho-oh. Gak ada yang bikin emosi," ujar Gibran. "Tapi gue kadang iri juga sih sama dia, dikasih otak pinter sama Tuhan meski kelakuannya nauzubillah."
"Seengaknya dia pernah berguna semasa hidup di sini," timpal Damian dan diangguki oleh El.
"Oh iya, ngomong-ngomong lo kemarin ngisi survei-nya gimana, Gib?" tanya Joseph setelah makanan mereka di antar ibu kantin.
"Ya gak gimana-gimana, jawab sesuai kenyataan aja."
"Kalo lo, Dam?" Joseph berganti menatap Damian.
Tak langsung menjawab, Damian menelan nasi goreng yang ada di mulutnya. "Hm, sama juga. Cuma gue masih belum yakin sama impian gue, bisa jadi di masa depan impian gue berubah."
Kurang puas dengan jawaban kedua sahabatnya, Joseph juga menanyakan hal tersebut pada El. "Pak Bos gimana?"
El mengedikan bahunya. "Ngasal."
"Emang impian lo apa, Bos?" tanya Joseph lagi.
Berpikir sejenak, El melirik Joseph. "Jadi suami orang."
Joseph dan Gibran cengo mengengar jawaban El, sedangkan Damian tertawa sambil geleng-geleng kepala. Kemarin Damian sempat mengintip lembar survei milik El, dan setelahnya dia sibuk mengumpati sahabatnya itu dalam hati sebab jawabannya sangat nyeleneh.
"Ck. Itu mah bukan impian, tapi emang udah kodratnya cowok jadi suami buat orang yang dicintai," cetus Gibran jengkel.
"Cita-cita lo apa, Dam?" Joseph masih mewancarai ketiga sahabatnya.
"Jadi komposer. Gue belum yakin seratus persen, sih. Soalnya gue juga lagi tertarik sama mobil. Tapi —," Damian menjeda sejenak. "Bokap pengennya gue jadi dokter."
"Banyak juga pilihan lo," ujar Gibran. "Punya back-up kalo semisal impian lo yang lain gak kesampaian."
"Lo beneran mau jadi polisi?" tanya Damian pada Gibran yang sedang asik melahap baksonya.
Karena mulutnya penuh makanan, Gibran hanya mengangguk-angguk. Barulah setelah dia menelan, Gibran bersuara. "Orang tua gue juga dukung, jadi mungkin setelah ujian lulus gue masuk akademi."
Joseph mendadak jadi diam mendengar cerita Damian dan Gibran yang menurutnya hebat karena mereka berdua punya impian.
Untuk El, Joseph yakin kalau lelaki itu masih bisa sukses tanpa impian dan cita-cita. Toh, El pasti meneruskan perusahaan papanya yang sangat terkenal itu. Lagipula dia tahu orang tua El tak pernah pusing dan memaksakan kehendak anaknya untuk memiliki cita-cita. Berbeda dengan orang tua Joseph.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOUR (Selesai)
Teen FictionTersedia versi PDF di Karyakarsa Pembunuh bayaran jadi guru? ________ Gianna Camellia Green mendedikasikan hidupnya untuk balas dendam akan kematian sang adik karena bullying di sekolah. Sampai dirinya terjun bergabung dengan sebuah organisasi 'Cr...