61-TIUP LILIN: Ayah! Mana mungkin!

374 86 9
                                    

Sebelum lanjut, jangan lupa vote dan komen untuk cerita ini ya,

_____

Setelah melihat kedatangan Reega dan juga Klamora, Berlin segera mengajak kedua temannya itu untuk masuk. Awalnya Berlin dibuat bingung mengapa kedua temannya itu bukannya berada di sekolah dan malah datang ke rumahnya? Reega dan Klamora juga sebelumnya sempat bertanya mengapa Berlin tidak datang ke sekolah hari ini.

Selagi menunggu Berlin yang tengah membawakan air untuk mereka, kini ada Rama yang duduk di sana menemani kedua tamunya.

“Aku baru tahu, ternyata kamu sepupunya Berlin. Kenapa gak bilang dari awal?” ujar Klamora memecah kecanggungan antara Rama dan Reega yang sejak tadi tampaknya hanya berniat untuk saling balas menatap secara sinis.

Rama sedikit membenarkan kacamatanya, ia menatap Klamora intens, “untuk apa juga kamu tahu?” jawabannya juga cukup sinis.

Klamora tertegun mendengar ucapan Rama, “ah, iya juga. Sama sekali gak ada hubungannya sama aku.”

“Kebetulan, aku lagi ada acara keluarga di rumah, makanya aku gak masuk sekolah hari ini.” ujar Berlin segera berjalan menuju ke ruang tamu sembari memberikan air kemasan. “Dan lagi, keluarga aku tahu kalau akhir-akhir ini ada kasus kematian yang di duga pembunuhan di sekolah kita.”

Klamora hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Apa ada kabar baru mengenai kematian Alin, di sekolah?” tanya Berlin seraya ikut duduk.

Klamora menggeleng miris, “malahan, kini Yara yang menjadi korbannya.”

“Hah? Maksudnya?” Berlin bertanya bingung.

“Yara ditemukan terbaring di atas mejanya di dalam kelas, tubuhnya berlumuran darah, dan kemungkinan dia dibunuh oleh orang yang sama dengan yang membunuh Alin.” kali ini Reega yang berniat untuk menjawab, sambil sesekali matanya menyelidik ke arah Rama yang berada di samping Berlin. Sepertinya sejak tadi Reega merasa bahwa Rama mengamati mereka berdua, terutama ke arah Klamora.

Berlin hampir tidak percaya mendengar kabar itu, ia juga mulai berpikiran apa jangan-jangan ada psikopat gila di sekolahnya. Sebelumnya ia juga dibuat syok dengan kematian Erlan, Berlin hampir saja menganggap bahwa semua itu hanyalah mimpi, namun nyatanya, kabar mengenai kematian Erlan kemarin sudah tersebar.

“Tahu dari mana jika yang membunuh adalah orang yang sama?” tanya Rama tiba-tiba. “Apa ada bukti? Apa pembunuh itu meninggalkan jejak serupa terhadap korbannya?”

Klamora berpikir sejenak, sejak awal ia sangat yakin bahwa si pembunuh itu adalah si peneror. Mengetahui bahwa hampir semua korbannya teman Klamora, belum lagi di samping jasad korban selalu ada lilin yang ditaruh secara tersembunyi. Hanya saja, Klamora tidak ingin menceritakan mengenai si peneror itu, salah-salah ia malah kena tuduh oleh Berlin dan Rama.

Rama menaikkan alisnya melihat ekspresi Klamora.

“Boleh kami bicara bertiga dengan Berlin?” ujar Reega, “ada hal penting yang harus ditanyakan,”

Tampaknya Rama semakin tidak nyaman dengan setiap ucapan Reega. Klamora yang memahami ekspresi Rama kembali dibuat merasa bersalah. Sebelumnya, pertemuan terakhir kali dirinya dengan Rama adalah di perpustakaan, Klamora tidak sengaja meninggalkan laki-laki itu karena hal mendadak. Tapi jika dipikir-pikir, Rama yang ia lihat di sekolah dan yang ia lihat saat ini terlihat berbeda.

“Ada apa? Apa kalian hendak menyampaikan sesuatu?” tanya Berlin, sudah dibuat penasaran.

“Di mana Briel?” tanya Reega—to the point.

Klamora sempat kaget, pasalnya, nada bicara Reega terdengar sarkastis.

Berlin mengerjap, berusaha mencerna pertanyaan Reega tadi.

“B—Briel?”

TIUP LILIN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang