63-TIUP LILIN: Briela

467 111 47
                                    

Perlahan, Klamora membuka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Ia berusaha menatap ke sekitar yang terasa gelap, di balik tirai jendela di ujung sana, Klamora seperti melihat ada sebuah bayangan berdiri seperti menghadap tepat menatap ke arah nya. Awalnya Klamora tidak terlalu jelas melihat bayangan itu, selain karena kondisi ruangan yang gelap, juga karena kedua mata Klamora belum benar-benar bisa terbuka.

Klamora mengusap matanya beberapa kali untuk memastikan bayangan apa yang ia lihat di balik tirai gorden itu.

“Erlan?” panggil Klamora tak yakin. Ia mengusap matanya sekali lagi sembari berusaha untuk bangun.

“I—itu, Erlan!” kali ini Klamora tidak salah lihat, ia benar-benar melihat bayangan Erlan di balik gorden itu. Ia mengenali dengan jelas bagaimana sosok Erlan.

Sebelum Klamora hendak menghampiri bayangan itu, tiba-tiba lampu kamar menyala. Reega yang baru saja masuk di bingungkan dengan tingkah Klamora yang sejak tadi ia dengar bahwa sepertinya gadis itu memanggil-manggil nama Erlan?

Reega terdiam sambil memberi tatapan bertanya ada apa.

“Ree, aku lihat Erlan di—“ saat Klamora menunjuk ke arah jendela dan kembali menatapnya, seketika bayangan itu sudah tidak ada. Klamora semakin dibuat panik dengan apa yang baru saja ia lihat tadi. “Aku serius, tadi, tadi ada bayangan Erlan di sana....” Klamora meloloskan air matanya begitu saja.

Reega menghampiri dan mengusap bahu Klamora, “Erlan udah gak ada, Kla. Kamu harus terima kenyataan.”

Klamora menutup wajahnya dengan telapak tangan, “semua ini salah aku Ree. Ibu, Ayah, Erlan dan teman-teman yang lain.... Kematian mereka disebabkan oleh masalah yang aku hadapi! Gak seharusnya mereka jadi korban, gak seharusnya mereka nanggung kematian sekejam ini!”

Reega tidak bisa menjelaskan apa-apa lagi, ia hanya bisa mengusap bahu Klamora agar gadis itu tidak tersulut perasaan sedih terus menerus.

“Iya,” Reega bergumam pelan.

“Kak Rio....” Klamora melepaskan tangan Reega di bahunya, lalu menatap laki-laki itu dengan intens. “Apa ada kabar dari kak Rio? Gimana keadaan Leva? Apa mereka baik-baik saja?”

Reega menggigit bibir bawahnya sekilas, ia tampak murung mendengarkan pertanyaan Klamora yang bertubi-tubi.

“Mereka..., aku belum dapat kabar apa pun dari keduanya. Mungkin—“

Klamora memotong kalimat Reega dengan menyingkap selimut dan memegang tangan Reega dengan segera.

“Kita harus ke sana Ree, sekarang!” ajak Klamora buru-buru. Sebelum Reega menjawab, Klamora sudah lebih dulu menariknya untuk segera pergi.

○○○

Berlin berjalan mengendap-endap setelah sebelumnya berhasil masuk melalui celah di pagar belakang rumah Klamora. Kali ini Berlin tidak sendirian, di belakangnya ada Rama yang memaksa ingin ikut karena penasaran.

“Sepertinya terjadi sesuatu di dalam?” Rama menebak-nebak saat sekilas melihat seperti ada cahaya api yang memudar.

“Kita harus masuk dan mencari tahu apa yang tengah dilakukan Klamora saat ini.” ujar Berlin seraya mendekat ke pintu garasi yang kebetulan tidak di kunci.

Rama masih mengekori Berlin dari belakang, “tapi sepertinya Klamora tidak pulang ke rumah nya.” Rama memberitahukan apa yang selalu ia cari tahu mengenai Klamora kepada Berlin.

Berlin menoleh sekilas.

“Saat ini Klamora pergi ke rumah Reega, jadi tidak mungkin dia ada di rumah.” Rama kembali menjelaskan.

Berlin tidak terlalu menghiraukan, “mungkin saja sudah pulang ‘kan?”

Saat sudah masuk ke dalam, tak sengaja Berlin menginjak sesuatu. Saat ia menerangi sesuatu itu dengan senter di ponselnya, ia terkejut dan segera menjauh. Pantas saja sejak tadi Berlin menutup hidungnya karena mencium bau yang aneh, ternyata bau itu berasal dari bangkai kucing yang sudah membusuk.

TIUP LILIN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang