🍁Bab 26

1.1K 206 5
                                    

Darah yang tak ada hentinya lewat di depan mataku, perlahan merubah pandangan menjadi merah. Jerit pesakitan, ratapan minta dibunuh atau diberi kesempatan terakhir bertalu-talu di gendang telingaku. Aku mengingkari prinsip tentang tak akan membunuh manusia yang bernyawa hari ini. Padahal sejak awal aku sudah menggebu-gebu mengatakannya dengan tegas. Namun kenyataan mengerikan ini tak bisa kuingkari. Bau menyengat darah yang menyeruak serta tanganku yang juga lengket memegang belati penuh darah. Hari ini merupakan mimpi buruk yang tidak ingin kukenang. 

Orang-orang yang gugur di medan perang ini dengan tanganku, pasti tadinya juga bukan manusia yang ingin membunuh sesamanya. Mereka tokoh anonim yang namanya tak pernah dikenal dan hanya diceritakan sebagai prajurit musuh yang gugur tergalas kekalahan.

Aku ingin menangis dan berteriak karena tak mau melakukan ini. Namun pandanganku terasa kosong. Tubuhku bergerak sendiri. Siapapun orang berseragam musuh yang bergerak ke arah Ludwig akan langsung kuhalau dengan belati.

Crash..... darah orgrey yang menyembur di hadapanku membutakan mata untuk sesaat. Punggungku terasa terantuk sesuatu. Saat menyeka mata dan menoleh aku menemukan Ludwig dengan tatapan serius membakar musuh di depan sana. Medan gurun ini seketika berubah menjadi lautan api. Mahluk dari dunia lain yang cukup merepotkan dilawan dengan kekuatan fisik itu kocar-kacir. 

"Apa kau bisa memberikan mana tambahan?" tanya Ludwig dengan ekspresi mengeras seolah menahan sakit. Aku sendiri sakit, bahkan rasanya terbunuh dari dalam. Namun entah untuk alasan apa aku sama sekali tak bisa membantah perintah Ludwig. Tanganku perlahan berselimutkan mana dari aura pedang. Sekarang aku hanya perlu mempertahanku kesadaranku, menyerap mana yang ada dan menyalurkannya pada Ludwig. Tranfusi mana sangat mudah dilakukan. Pelakunya cuma perlu melakukan kontak fisik ringan dengan memegang satu sama lain. Aku mendorong punggung kokoh Ludwig pelan, berusaha menahan kesadaranku agar aku tak menyerap mana di sekitar terlalu banyak.

"Apa ini cukup yang mulia?" aku bertanya dengan suara sedikit serak.

"Kau melakukannya dengan sangat baik!" Ludwig kembali maju untuk mengendalikan laju pergerakan apinya.

Perang dengan kekuatan fisik dan sihir yang mendominasi ini terlihat meriah. Kakiku limbung. Namun aku cuma tokoh tak penting yang juga tak perlu menerima perlindungan, jadi kesempatan hidupku akan sangat kecil. Dengan menekan hatiku sendiri karena rasa bersalah, aku berusaha tak tergugu. Aku hanya perlu mengikuti langkah kaki Ludwig kemanapun. Saat Nicholas dan aku mendadak berpapasan, aku yang sejak awal menunjukkan tabiat buruk dan keras kepala di hadapannya malah mau terjungkal karena belati yang kupakai terlalu kecil untuk menahan serangan. Alhasil Nicholas malah tak fokus dan merengkuhku agar tak sampai jatuh dan tergilas lainnya.

"Kau bisa minggir jika tak kuat lagi berdiri! Jangan kehilangan kesadaranmu dan berakhir meledak." Tatapannya sendu. Aku menganggukinya lemah. Harusnya perang hari ini segera disudahi berkat kemunculan mendadak Nancy. Tapi dia tak kunjung muncul juga sesuai plot cerita. Hingga alur mengenaskan ini berhenti di satu titik yang menyebalkan.

Aku membuang napas. Bersandar pada tembok tanaman rambat anti api yang kubuat dengan sisa mana di sisi Ludwig. Tugasku melindunginya dari arah ini jadi aku ingin beristirahat sekalian dengan memanfaatkan kobaran api yang diciptakan olehnya. Paru-paruku sesak, aku menurunkan sedikit cadar yang kukenakan agar leluasa bernapas.

Kesadaranku makin berkurang. Lamat-lamat aku menatap ke arah langit yang mulai terang. Selarik cahaya lurus merekah dari sana. Ledakan yang bukan berasal dari granat maupun petir menginterupsi jalannya perang. Dari celah cahaya keemasan yang sangat terang itu, sesosok wanita seperti Dewi dengan pakaian yang tak dikenali dari dunia ini turun. Pertama itu lambat sampai membuat mata yang menyaksikannya terpana. Dan ketika ledakan yang lebih besar datang setelahnya, dia turun dengan kecepatan tinggi tepat di rengkuhan putra mahkota yang tengah membakar musuh dengan nyala apinya.

Suasana hening, hanya tersisa deru napas dan gemrisik nyala api yang terdengar. Seluruhnya tertegun. Termasuk putra mahkota yang termangu dengan gadis dalam rengkuhannya. Dia bersinar lebih terang daripada cahaya keemasan dan api yang menyalak mata saat ini. Debu halus tersibak, api yang berkobar perlahan mulai tenang, memercik nyala yang diredam oleh angin. Adegan yang kelewat dramatis sampai membuatku ingin keluar dari kursi penonton.

Tolong! aku membuang napas panjang. Cukup lelah juga mendepskripsikan kehadiran tokoh utama yang sangat tidak kusukai. Aku melambaikan tangan atas jalannya perang yang tersendat berkat kemunculan Nancy saat ini. Semuanya mulai heboh memperebutkan gadis yang masih tak sadarkan diri itu. Mengira dia benar-benar malaikat atau utusan Dewi. Rambut perak yang berkilau dan warna mata yang belum diketahui karena masih terpejam, mengundang rasa penasaran banyak orang.

Kemunculan Nancy yang seperti ini memang bukanlah sesuatu yang bisa kucegah. Mulai hari ini alur romansa dalam novel akan bermula. Padahal akan lebih baik kalau dunia novel ini tak punya genre romansa. Keributan di sekitarku tak berpengaruh sama sekali terhadap pendengaranku. Aku ingin duduk dan meluruskan kakiku sejenak. Tapi...

"Bersandarlah padaku!" Nicholas mendadak muncul di sampingku dan menarikku ke sisinya. Aku yang amat kelelahan setelah memforsir dan menyerap mana berlebihan tak punya daya bahkan untuk menggerakkan jari telunjuk. Nicholas sejak awal memang diceritakan tidak tertarik dengan kehadiran Nancy sehingga menghindari kerumunan dengan caranya sendiri. Aku juga tak terlalu peduli sih dengan tempat mana yang dipilihnya untuk menghindar. Tapi kenapa malah di sini? disaat aku ingin tenggelam sendiri tanpa euforia yang penuh kebisingan itu?!

"Daripada itu aku yang akan membawanya kembali!" Ernest tiba-tiba muncul, membawa masalah baru dan menarikku ke arahnya. Aku mendengus sekilas. Nicholas dengan kukuh tetap menahanku. Kalian semua.... pandangaku makin mengabur. Kalian semua harusnya tertarik dengan Nancy, kenapa sekarang malah mengerumuniku sebagai tokoh anonim yang harusnya tak memiliki tempat? Aku tak ingin dianggap beban seperti ini. Aku cuma mau beristirahat sejenak, sebelum kembali ke benteng bersambut senja dengan wajah penuh jelaga. Aku ingin mengusir dua pria itu dari hadapanku. Tapi yang keluar dari mulutku hanya sengau.

Oh.. ini hal yang kubenci, namun entah mengapa napasku terasa tenang di sisi mereka berdua. Sampai aku tak sadar kalau penglihatanku juga perlahan menghitam setelahnya. Ibu..., apa aku pernah mengatakan kalau aku merindukan rumah? Meski selalu merasa kesepian, di sana adalah tempat yang paling cocok untukku. Orang-orang yang makin samar dalam ingatanku, kenapa jadi malah semakin banyak? Sebenarnya ada berapa banyak kehidupan yang telah kulalui dan kulupakan?

THE SECOND ENDING [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang