🍁Bab 7

2.9K 393 6
                                    

Prang... bugh... prangg.... dentingan barang pecah belah dan dentuman benda lainnya beradu. Tempat ini benar-benar kacau. Baru 15 menit lalu Ludwig kembali dari istana utama tapi dia sudah mau menghancurkan kamarnya sendiri. Entah apa yang terjadi di sana, yang jelas tiap kali Ludwig kembali dari pertemuan bersama keluarganya dia akan marah tanpa alasan dan menghancurkan benda apapun yang disentuhnya. 

Para pelayan sebagian besar memilih menyingkir karena takut jadi korban salah sasaran lemparan barang. Sementara itu aku sudah menepi di pojok ruangan. Menyaksikan kekacauan ini sambil banyak-banyak meredam emosi. Di saat semua pelayan lainnya satu persatu meninggalkan ruangan, kepala pelayan malah menahanku di sini untuk memantau apakah nanti Ludwig akan melukai dirinya sendiri atau tidak. 

Seharusnya pekerjaan itu ditujukan untuk orang dewasa bukan anak kecil sepertiku. Aku heran dengan kepala pelayan, kenapa dia menyuruhku melakukan banyak pekerjaan berat dan membebaskan lainnya dari pekerjaan ringan. Dia benar-benar pilih kasih, mentang-mentang aku masuk ke istana ini tanpa membawa nama keluarga dia memperlakukanku benar-benar seperti budak.

"Apa anda sudah merasa lebih baik yang mulia?" tanyaku yang sejak tadi mulai jengah dengan keributan ini. Ludwig menoleh ke arahku dengan tatapan lemahnya, dia tak menangis namun matanya terlihat nanar. Dia kelihatan menahan kesal namun sejak tadi tak berkata-kata dan hanya melampiaskannya pada barang-barang tak bersalah yang ditemuinya. Aku menghela napas sejenak. Kalau begini bagaimana bisa seseorang memahami sumber kemarahannya dan menenangkannya?

Aku beranjak mendekat ke arahnya dan menariknya berdiri dari atas lantai. Dia duduk di antara pecahan kaca, terluka sedikit saja aku yang akan kena pecut oleh kepala pelayan nantinya. Bagai boneka tak bernyawa Ludwig menurut berdiri begitu saja. Dia benar-benar kehilangan kesadarannya. Aku tak tahu dia punya masalah hidup apa sampai depresi di usia semuda ini?

 "Yang mulia apa anda sudah merasa lebih baik?" meski aku membencinya setengah mati, namun entah mengapa hatiku rasanya terkoyak melihat anak ini melukai dirinya sendiri. Aku mengambil handuk yang sudah dibasahi, membersihkan luka di lengannya. Bagian pakaiannya yang koyak kusisihkan. Aku tak pernah sekalipun merawat orang terluka dengan benar, jadi kuperlakukan luka Ludwig seperlunya sebelum memanggil dokter. Setelah ini siap-siap saja aku akan dipecut oleh kepala pelayan karena Ludwig akhirnya tetap melukai dirinya sendiri.

"Apa ini menyakitkan? Saya tahu bahwa lingkungan istana memang kejam untuk pekerja rendahan, tapi saya tak tahu bahwa lingkungan ini juga racun untuk anak-anak kaisar. Jika anda merasa sesak dan sakit harusnya menangis atau berteriak itu jauh lebih baik. Jangan berusaha menahannya dengan melukai diri sendiri. Apa anda tidak tahu bahwa setelah ini saya yang akan menerima hukuman atas luka ini?"

"Kalau begitu jangan pergi...." aku sempurna terkejut saat Ludwig yang sejak tadi bisu akhirnya mulai bersuara.

"Maksud anda?" kudongakkan kepalaku.

"Jangan pergi agar kau tak dipecut, luka ini biar aku yang menanggungnya sendiri." dia menunduk dalam-dalam seolah menyesali sesuatu. Ini seperti orang lain. Ludwig yang kukenal begitu egois, menyebalkan, dan juga sarkas. Darimana datangnya sifat rendah hati semacam ini? Suhu tubuhnya terasa panas, dia pasti demam sampai mulai mengingau dan tak sadarkan diri seperti ini.

"Yang mulia tubuh anda adalah sesuatu yag berharga, setidaknya sebagai pemiliknya anda harus menghargainya, jangan melukainya seperti ini."

"Tak ada satupun yang kumiliki di dunia ini." suaranya terdengar bergetar. Dia benar-benar sakit.

Aku membelalakkan mata, "bagaimana bisa anda berkata begitu? Bukankah anda sendiri yang selalu bilang bahwa saya adalah anjing anda dan harus selalu menurut. Anda sendiri juga yang selalu bilang bahwa...."

THE SECOND ENDING [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang