Upaya penyegelan prajurit yang berubah menjadi monster benar-benar selesai saat hampir lewat tengah hari. Ludwig belum juga kembali. Semua prajurit yang tersisa jumlahnya tidak lebih dari 50 orang dan 20 diantaranya yang masuk tim penyegel tumbang karena kehabisan mana. Begitu pun juga denganku. Pasokan manaku yang tersisa sepertinya cuma cukup untuk berdiri karena aku harus menutupi jumlah kekurangan orang. Aku menyeka keringat yang terasa perih saat masuk ke mata. Barak benar-benar porak poranda. Prajurit yang berhasil disegel nampak meraung-raung di dalam lingkaran sihir. Itu cukup mengerikan.
"Mereka tak akan bertahan dalam dua hari!" ucap roh tanah yang terhubung lewat pikiranku. Dia sepertinya tengah memantau situasi dari dunia roh saat ini.
"Lalu apa ada penawarnya? Kau bilang kalau bisa melakukan penyembuhan juga, kan?"
"Aku cuma perlu memurnikan mereka dengan dektoksifikasi. Itu hal yang mudah tapi kalau untuk orang sebanyak ini jumlah mana yang kau miliki tidak akan cukup!"
"Ini perbatasan, karena aliansi negara musuh punya organisasi penyihir penggunaan mana kita jadi dibatasi dan mana di alam tidak terbentuk sedikit pun."
"Tapi kekuatan penggunaan mana milikmu sama sekali tak bisa dibatasi di sini."
"Meski itu kebenaran sekalipun, fakta bahwa tak ada mana yang bisa kuserap tak akan berubah!"
"Aku tahu sumber mana besar di dekat sini. Jumlahnya bahkan melebihi cukup untuk memurnikan penduduk satu benua."
"Aku sudah bisa menebaknya, itu Octopus, kan? Upaya melawannya belum ditemukan sampai saat ini. Jadi sia-sia saja berusaha mendekat untuk menyerap mananya."
"Aku tahu titik kelemahannya, itu ada di kepalanya. Membunuh mahluk seperti itu sangat mudah di dunia roh tapi manusia sepertinya terlalu banyak pertimbangan sampai-sampai mengorbankan banyak nyawa hanya untuk mencari kelemahannya."
"Kalau begitu apa aku cuma perlu menancapkan pedang di titik kelemahannya dan menyerap mananya?"
"Iya itu terdengar mudah dilakukan. Tapi seperti biasa kau itu keras kepala dan kurang pengalaman. Maju di garis depan untuk melawannya hanya akan membuatmu langsung terbunuh."
"Apa benar-benar tak ada yang bisa kulakukan?"
"Ah, kabur saja dengan pria itu. Hanya dengan wajahnya saja kau bisa hidup sentosa di dunia yang mengerikan ini!"
Roh tanah sialan! Dia bahkan tak memberi solusi penyelesaian dan cuma mampir untuk mengejekku. Aku mendongakkan kepala sejenak. Ernest terlihat berjalan mendekat ke arahku. "Air, dapat dipastikan kalau itu tak tercemar." Ujarnya seraya mengulurkan sebuah botol kepadaku. Rupanya dia habis berkeliling membagikan air kepada beberapa prajurit yang masih sadar.
Aku menerimanya dengan tangan gemetaran. "Maaf aku tak punya sapu tangan untuk menghapus debu di wajahmu." Kali ini hal yang dilakukan Ernest kembali membuatku tertegun, dia mendadak melepas cravat di kerahnya, membasahinya dengan air dan menggunakannya untuk menyeka wajahku dengan lembut. "Cuaca siang hari di sini pasti tak membuatmu terbiasa."
Aku menelan ludah susah payah, pipiku terasa makin tersengat panas padahal Ernest menempelkan air dingin di sana.
"Ya ampun, jangan sebaik ini. Aku akan kesulitan menerima kebaikan lainnya kalau kau begini." Ucapku seraya menurunkan tangannya dari wajahku. "Debu adalah hal yang wajar bagi prajurit, sudah kukatakan khawatirkan dirimu di atas orang lain."
"Tapi kau bukan orang lain bagiku!"
Aku terdiam. Ini musim gugur tapi siang hari di pesisir terasa terik. Keributan yang terjadi beberapa saat lalu seolah tersapu hanya dengan tatapan lembut dari mata hijau milik Ernest. Itu lebih cerah dari musim semi yang menyejukkan. Rasa gelisah di sudut hatiku menguap. Kenapa baru sekarang aku merasa kalau aku mengenalnya lebih lama dari yang kupikirkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SECOND ENDING [END]
Fiction Historique[FIRST STORY] Setelah semua ketidakbergunaanku di kehidupan sebelumnya, aku terlempar ke dunia asing akibat menolong anak tetangga yang berniat bunuh diri. Dan dunia itu adalah dunia dari novel yang kebetulan kubaca sambil berlinang air mata selama...