Setelah cukup berdebat dengan sisa pasukan, akhirnya rencanaku untuk menaklukan Octopus dijalankan juga. Ernest sangat jelas menentang solusi ini. Tapi karena Ludwig adalah orang gila yang suka menyetujui hal-hal nekat, mau tak mau rencana ini direalisasikan juga. Sebentar lagi kapal dalam persiapan berangkat. Malam ini langit cerah dan tidak berawan jadi cukup mendukung penerangan. "Wah, kau kembali. Kupikir kau juga makan sarapan pagi ini dan aku tak mengenalimu karena sudah berubah menjadi monster." Aku menyapa Nicholas yang nampak baru tiba di belakangku. Dia menatapku malas, "aku baru kembali dari memantau monster di gua karang, jadi kapan punya waktu untuk sarapan?" desisnya lelah.
"Kau belum makan apa pun?" aku melempar sebuah kentang ke arahnya. Dia menarik senyumnya kecil. "Kapan kau mencuri ini?"
"Aku ikut mengangkut perbekalan logistik yang dikirimkan dari distrik Cornohen, ngomong-ngomong bagaimana bentukan Octopus? Apa dia lebih besar dari kapal ini dan benar memenuhi lautan?" aku menggaruk daguku sejenak, berpikir.
"Kau akan merinding saat melihatnya sendiri nanti." Jawab Nicholas mendadak terlihat tak acuh.
Aku melirik ke samping, Ludwig berdiri di sana. Karena orang yang paling perlu dilindungi ia menempatkan diri di barisan tengah seperti biasanya. Yah, biar kutebak belum sampai lima belas menit menghadapi Octopus nanti dia akan maju ke depan sendiri dan mengambil alih pimpinan. Bukan karena tak percaya pada Ernest sebagai pemimpin pasukan, tapi dia itu orang nekat keras kepala yang untungnya kuat.
Aku menghela napas menatapnya. Angin yang bertiup dingin menerbangkan jubah dan bendera kekaisaran di atas kapal. Namun jauh dari itu semua angin yang menerbangkan rambut Ludwig terlihat anggun. Sinar bulan membuatnya seperti emas yang ditimpa oleh lelehan perak.
"Apa kau berdebar saat ini?" tanyanya tiba-tiba.
"Tentu, saya yang akan jadi penentu keberhasilan penaklukan Octopus malam ini. Jadi--"
"Yang harus kau lakukan hanya tetap hidup dan tinggal di sisiku. Aku tak masalah jika harus membakar Marcenian dan memulai pertumpahan darah lebih banyak lagi." Ujarnya memutus perkataanku.
Aku menelan ludah seperti menelan amplas. Ludwig terlihat menyeramkan dengan ekspresi itu. Dan lagi apa maksud perkataannya barusan? Namun sebelum sempat menanyakan alasan kepadanya, Ernest dari arah haluan depan kapal berseru. "Semuanya bersiaga di tempat!"
Fokus perhatianku teralih, dari sini aku tak bisa melihat Ernest secara langsung, namun punggungnya nampak gagah dengan jubah yang berkibar dan ditimpa bayangan bulan.
Kapal perlahan melaju, membuang sauh yang sangat kencang. Di tengah lautan area dek kapal terlihat sangat luas, karena diiisi tak lebih dari 30 prajurit yang memiliki kemampuan membuat segel pelindung untuk mencegah kerusakan kapal saat serangan Octopus nanti. Seperti apa bentuk gurita raksasa itu? Apa tentakel yang dirumorkan akan sebesar lubang hitam? Kepalaku dibuat berputar dan terus bertanya-tanya.
Makin ke tengah, kapal memelankan lajunya. Buih yang dapat dijumpai dengan mata telanjang semakin banyak dan bergemuruh. Prajurit pembuat segel pelindung bersiap, sementara itu Ernest dan beberapa ksatria bayangan mulai menarik pedangnya masing-masing.
Denting besi yang membuat lautan seperti dijatuhi bom berdebum mulai buncah. Kapal sedikit bergoyang namun tetap utuh berkat prajurit penyegel yang mati-matian bertahan. Mulanya aku berpikir bahwa kepala gurita raksasa itu hanya akan sebesar cerobong asap di atap kastil. Tapi kalau begini..... kakiku hampir goyah karena tekanan mati dari segala penjuru. Teriakan berdenging dengan frekuensi yang sanggup memecahkan gendang telinga menderu. Tentakel sebesar batang pilar di kuil kuno itu mekar sempurna memenuhi lautan. Gurita raksasa itu tak dirumorkan dengan maksud melebih-lebihkan. Pantas saja Nicholas terlihat lemas saat kembali dari memantaunya.
Barisan yang diatur di atas kapal tak lagi beraturan. Tak ada ksatria pribadi dan majikan di sini, namun aku punya peran untuk melindungi Ludwig juga. Hanya saja pria itu sudah cukup kuat tanpa dilindungi. Gurita yang mengamuk dan derasnya air yang membuncah seperti hujan. Melihat Ernest, Nicholas, dan Ludwig yang terdepan menangkal serangan membuatku memikirkan ide yang melenceng jauh dari rencana awal. Menempatkan para pengguna aura pedang untuk menyerang dan Ernest dengan pedang kuno untuk memotong tentakel Octopus jelas potensi kerusakan besar yang mempertaruhkan nyawa. Namun, ini akan terlihat hebat. Kepalaku rasanya diterangi lampu jutaan volt. Melihat Ernest yang berulang kali terbelit untuk mengincar tentakel Octopus sangat luar biasa.
Keributan yang membuatku menggigil ini harus segera diselesaikan sebelum prajurit penyegel kehabisan mana. Aku menempatkan diri di atas alat pelontar bom menyalakan sumbu mesiu di belakang. "Roh tanah bantu aku untuk sampai ke kepala Octopus!" aku memanggil roh tanah dalam pikiranku sebelum benar-benar berangkat. Lautan yang terang dengan cahaya bulan mendadak disinari cahaya hijau yang menyelasar sampai ke penjuru. Rupanya perkataannya soal roh tanah yang agung itu tidak salah. Ia salah satu roh alam terkuat yang kemunculannya sudah cukup menyalak mata. Dulu aku tak bisa memanggil wujudnya sampai ke titik sejelas ini. Tapi karena mana yang kumiliki di tubuh ini terus meningkat kapasitasnya kemunculan roh tanah sejelas ini bukanlah masalah besar.
Semua orang nampak tertegun ketika aku meluncur dengan alat pelontar disertai cahaya hijau yang melintas. Tentakel Octopus di depan dengan cepat mendekapku. Tapi ini adalah bagian dari rencananya.
"Tidak, Aneira!" seruan Ernest yang paling jelas mengamuk memenuhi lautan. Dia sepertinya yang paling panik dengan perubahan rencana mendadak ini. Tapi aku punya roh tanah dan aura pedang di sisiku.
"Buat pelindung akar raksasa untuk mencegah siapapun menghalangiku!" perintahku pada roh tanah.
"Baik sesuai permintaanmu!" wah, tumben sekali dia menurut dengan cepat tanpa pertentangan. Mungkin dia tahu kalau aku akan mendapat banyak mana untuknya.
Tentakel monster ini lebih menggelikan dari yang kukira. Lendir dan tinta hitam yang seperti muntahan. Ini menjijikkan. Aku menarik pedang di pinggangku. Kekuatan aura ungu dengan cepat menyebar sampai lenganku. Pedang apapun selain pedang kuno hanya mampu memotong tentakel Octopus sementara. Jadi aku hanya butuh melukainya dengan rasa sakit tak tertahankan dan membuatnya melemparkanku ke udara untuk menjangkau kepalanya.
Mahluk ini tak bisa diajak berkomunikasi. Jadi ayo taburi lebih banyak rasa sakit dengan area yang lebih luas lagi. Luka yang tak disadari kehadirannya jauh lebih menyakitkan dan membuat frustasi. Sesuai dugaan, dia dengan cepat makin mengamuk dan meraung membuncah lautan. Berkat dinding yang diciptakan roh tanah aku jadi tak mendengar apapun di belakang sana dan bisa semakin fokus menghadapi Octopus seorang diri. Ini dia titik dimana darah dengan pigmen tinta hitam muncrat keluar. Ini rasa sakit yang kucari. Tentakel Octopus itu mengencang dan mencekikku. Aku terguncang ke udara dengan kepala luar biasa pusing dan mata perih berkat air asin yang datang seperti gelombang.
Ciaatt.... kulit licin gurita menyusahkan ini hampir membuatku kebablasan terjun ke laut. Beruntung aku menancapkan pedang tepat waktu. Cahaya biru dengan aura mana hitam. Lagi-lagi penyihir agung itu membuat masalah dengan memanggil monster dari dunia asing. Ini pasti pusat kelemahannya. Aku menancapkan pedang yang sudah diliputi aura ke titik itu. Mana dengan sihir jahat sangat menyakitkan untuk diserap. Namun karena mana dari alam tak ikut terserap jadi jumlah ini bisa kutanggung dengan kesadaran penuh. Selain itu berkat segel pelindung yang dibuat oleh roh tanah orang-orang yang ada di dalam kapal tak sampai ikut terserap mananya.
"Arggghhhhh......" teriakan rasa sakit yang menggelagar memenuhi langit malam. Aku bersumpah itu bukan aku. Sedikit lagi mana dari Octopus terserap habis. Tapi semakin habis mananya yang kuserap, ukuran tubuhnya juga semakin menyusut. Dalam jarak sepersekian detik lagi aku akan jatuh ke laut jika tak bisa berimprovisasi menyelematakan diri. Kalau begitu hal apa yang bisa kulakukan di situasi ini?
"Duaaarrr....." aku menciptakan ledakan mana yang membuat diriku sendiri terpental dari atas permukaan air laut. Ini mengejutkan aku tak berpikir dengan apa aku mau mendarat? Aku gugup karena sangat trauma jatuh dari ketinggian. Detik waktu melambat dan denyut jantungku yang terpompa keras bertalu-talu. Kilatan cahaya aneh terlihat menembus dari balik segel pelindung yang dibuat oleh roh tanah di atas kapal. Aku menajamkan mataku. Ernest? Tidak, Ludwig? Lalu Nicholas? Siapa diantara kalian yang akan menangkapku?
Notes: Teruntuk para pembaca sekalian yang masih menanti kelanjutan cerita ini, maaf ya author nggak bisa sering-sering update akhir-akhir ini🤧
Btw sekolah kalian habis UAS dikasih libur nggak sih??😩
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SECOND ENDING [END]
Fiction Historique[FIRST STORY] Setelah semua ketidakbergunaanku di kehidupan sebelumnya, aku terlempar ke dunia asing akibat menolong anak tetangga yang berniat bunuh diri. Dan dunia itu adalah dunia dari novel yang kebetulan kubaca sambil berlinang air mata selama...