Setelah upacara pemakaman resmi yang panjang usai seluruh pasukan diberikan waktu istirahat pada malam hari. Untuk berjaga-jaga legiun belum bisa dibubarkan, namun seluruh prajurit dapat kembali ke rumah keluarganya masing-masing. Aku kembali ke istana mengikuti Ludwig. Tak banyak yang terjadi, karena agenda untuk acara besok adalah memberikan putusan hukuman kepada seluruh penjahat perang dan upacara penobatan kaisar untuk Ludwig.
Ludwig menatapku seraya bertopang dagu. Memainkan gelas sampanye di tangan kirinya. Malam yang tenang diliputi kedamaian akhirnya datang juga di istana ini setelah sekian lama, rasanya seperti mengenang masa lalu. Hanya saja saat ini Deklis Wagner tak lagi bersama kami. Karena ia merupakan penjahat perang yang mengkhianati kekaisaran, jadi saat ini ia tengah ditahan bersama para pengkhianat lainnya yang kini tak memiliki kekuatan.
Sudah lebih dari 3 tahun kami tinggal di luar istana. Jadi begini rasanya pulang. Duduk di depan perapian yang hangat di malam hening sambil bertukar cerita. Kami sama-sama tak memiliki keluarga jadi perasaan ringan yang mengalir saat ini entah kenapa begitu menenangkan dan tentram.
“Setelah ini apa anda punya sesuatu untuk dilakukan yang mulia?” tanyaku sebagai bentuk basa-basi.
“Entahlah aku akan naik tahta dan memerintah Cladence dengan bijaksana.” Ludwig menjawab tanpa menambah kadar basa-basi atau apapun.
“Para menteri memang telah menyetujui anda naik tahta tanpa menikah, namun bagaimana dengan masalah permaisuri dan penerus?” aku berpikir sejenak memasukkan sebuah anggur begitu saja ke dalam mulutku.
“Kalau begitu bagaimana menurutmu?” Ludwig menarik seringainya.
“Saya?” aku menunjuk diriku sendiri. “Kenapa anda bertanya pada saya? Apa saya yang perlu memutuskannya?”
“Aha, apa kau masih berpura-pura bodoh? Aku mencintaimu, bagaimana kalau kita menikah setelah aku naik tahta? Aku tak pernah berpikir soal wanita lain yang bisa melahirkan penerusku selain dirimu.” Ucap Ludwig memandang lurus ke arahku.
Aku tercekat. Makin lama Ludwig makin blak-blakan dengan kata-katanya. Atmosfer ruangan ini berubah entah karena hawa panas yang tiba-tiba menyergap wajahku atau apa, aku sendiri tak mengerti.
Aku menunduk, menatap gelas minumanku dengan lesu. “Pernikahan di antara kita tak akan pernah mungkin terjadi yang mulia.” Aku mendongak, memandangnya balik.
“Status dan asal-usul kelahiran saya tidak jelas sejak awal. Bangsawan yang selalu mempermasalahkan pertalian darah jelas tak akan menyukai saya dan tidak akan berhenti mengganggu tahta yang anda duduki. Di istana saya juga akan diperlakukan dingin, mengingat pelayan yang bisa masuk istana hanyalah mereka yang berasal dari kaum bangsawan. Bagaimana bisa seseorang yang statusnya lebih rendah daripada pelayan di istana menjadi permaisuri dan mendampingi anda?”
Aku menghela napas sejenak. “Saya sudah lelah dan menginginkan waktu istirahat yang damai. Jangan menarik saya masuk ke lingkaran keluarga kekaisaran dan persaingan politik yang tak pernah ada ujungnya. Karena status saya para bangsawan pasti akan mendesak anda untuk mengambil selir dan melahirkan putra mahkota. Sampai akhir saya hanya akan menjadi permaisuri bayangan. Hal yang lebih memilukan adalah ketika saya kelak melahirkan anak anda, dia akan tumbuh di lingkungan istana yang keras, diperlakukan dengan dingin, dan tidak dihargai karena status ibunya. Membayangkannya saja sudah cukup membuat saya ngilu dan menggigil yang mulia.” Aku menjelaskan kekhawatiranku dan prediksi masalah di masa depan secara gamblang pada Ludwig.
Kami tak akan bisa mengharapkan hubungan yang lebih serius daripada kaisar dan bawahan suatu saat nanti.
Ludwig menarik senyumnya. “Hanya masalah status konyol? Kupikir aku mengkhawatirkan masalah yang lebih serius daripada itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SECOND ENDING [END]
Ficción histórica[FIRST STORY] Setelah semua ketidakbergunaanku di kehidupan sebelumnya, aku terlempar ke dunia asing akibat menolong anak tetangga yang berniat bunuh diri. Dan dunia itu adalah dunia dari novel yang kebetulan kubaca sambil berlinang air mata selama...