Aku menyerah soal bisa tidur malam ini. Sejak tadi lalu lintas masalah random tak ada hentinya berputar di atas kepalaku. Bahkan di medan perang sekalipun membunuh manusia bernyawa sama sekali tak bisa dibenarkan. Dan aku sudah pernah melakukan itu. Sedikit menyesakkan, meski bisa tidur nyenyak aku tetap terbangun dengan mimpi buruk dan napas tak beraturan. Kalau begini aku bisa kena gangguan mental.
"Huft..." Aku menyandarkan punggungku pada kepala ranjang. Menatap langit-langit ruangan sambil menghela napas panjang. Seluruh pasukan saat ini sedang dalam keadaan bersiaga, walau begitu mereka tetap mendapat giliran tidur pada dini hari. Di akhir musim gugur seperti saat ini, hujan selalu turun menjelang dini hari dan itu akan membuat Ludwig kesulitan tidur. Pria itu pasti tertekan menghadapi masalah insomnianya.
Karena aku tak bisa tidur juga, mungkin aku bisa keluar dan memastikannya. Meski Nancy sudah muncul di dunia ini dan nantinya akan berperan besar dalam mengatasi masalah insomnia Ludwig, aku masih saja kepikiran. Karena Nancy nampak kekanakan dan kurang bisa diandalkan.
Ludwig terlihat menyedihkan tiap kali mengalami insomnia sambil mengingat ibunya. Di kastil ini tak ada piano, akan cukup sulit juga menanganinya. Kalau dia cuma tak bisa tidur itu cukup mudah diatasi, tapi kalau dia mulai berjalan dalam tidurnya, kelemahannya yang seperti itu akan langsung diketahui oleh semua orang dan menimbulkan kegemparan. Kaisar di masa depan tidak boleh ketahuan memiliki masalah psikologis.
Aku melangkahkan kaki turun dari ranjang. Memakai selimut di pundakku dan menyalakan lentera. Setelahnya aku mengendap-ngendap keluar meninggalkan kamar agar lainnya tak ikut terbangun. Lorong kastil terlihat sepi, pasti sebagian pasukan juga tengah diistirahatkan. Mengingat sekarang ini sedang turun hujan, prajurit mayat hidup pasti akan kesulitan melakukan pergerakan. Persiapan serangan mungkin ditangguhkan. Berbahaya mengirim pasukan ke atas tembok di situasi sulit ini.
Aku menarik napas dalam-dalam. Suara garitan tembok dan juga napas sesak terdengar menggema. Langkahku kupercepat, di persimpangan koridor aku menemui tubuh jakung seorang pria bersurai pirang keemasan yang sedang menubrukkan kepalanya ke tembok. Tunggu,... Ludwig? Sudah kuduga akan berbahaya meninggalkannya sendirian di malam musim gugur. Pria itu saat ini bahkan tak cukup menubrukkan kepalanya ke tembok, tapi juga menggarukkan jemarinya sampai berdarah dengan napas sesak dan suara memilukan.
Aku menatapnya ngilu, itu pasti sangat menyakitkan. Kalau begini akan lebih baik jika aku berjaga di ruangannya tiap malam musim gugur. Sebab jika ditinggalkan dia akan mengumumkan kelemahannya sendiri ke seluruh kastil. Di istana Bintang yang tahu soal masalah insomnia Ludwig hanya kepala pelayan, Nicholas, dan juga aku. Kalau sekarang orang lain mengetahuinya juga, pasti akan menyulitkan.
Aku beranjak mendekatinya, mengguncang pundaknya untuk membuatnya sadar. "Yang mulia, bangunlah! Sekarang ini anda sedang berada di lorong dan bukannya kamar anda!"
Dia tak bergeming sedikitpun, aku mencoba mendorongnya lebih keras agar berhenti menekan kepalanya ke tembok. Tapi ini sangat menyulitkan hingga rasanya perlu tenaga tambahan. Duagh.... aku terpental sendiri. Pantatku yang menyentuh lantai dingin terasa ngilu. Tapi untungnya dengan usaha itu Ludwig akhirnya berbalik juga. Aku buru-buru bangkit memapah tubuhnya yang sempoyongan. Dia sama sekali tak sadarkan diri saat ini. Matanya menatapku dengan pandangan kosong sambil tergugu sesak dengan napas tak beraturan.
"Yang mulia!" aku mengguncang lengannya. Berharap dengan itu dia segera sadar. Jemarinya bahkan meneteskan banyak darah sampai mengalir. Itu pasti sangat perih. Tapi tubuhnya tetap tak bereaksi sama sekali.
Degh... aku terdiam. Jantungku mau melompat ke inti bumi. Ludwig tiba-tiba mendekapku erat sampai-sampai aku merasa sesak dan lupa caranya bernapas untuk sesaat. Aku ingin mendorongnya, namun dia menangis tergugu di pundakku. Kakiku goyah karena tegang. Namun lama-kelamaan aku mulai cukup tenang dalam menyikapinya. Dia tak sadarkan diri saat ini. Jadi aku harus memakluminya. "Yang mulia, apa anda bisa mendengar suara saya? Ini saya Aneira!" aku berucap dengan nada tenang, berharap itu menjangkau alam bawah sadarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SECOND ENDING [END]
Fiksi Sejarah[FIRST STORY] Setelah semua ketidakbergunaanku di kehidupan sebelumnya, aku terlempar ke dunia asing akibat menolong anak tetangga yang berniat bunuh diri. Dan dunia itu adalah dunia dari novel yang kebetulan kubaca sambil berlinang air mata selama...