52. i can't want

543 61 34
                                    

Jangan lupa voment nya bebbs!
I hope you're happy

.
.

------------ Happy Reading -------------


Pagi telah menyapa melalui sinarnya yang masih berwarna oren dibalik horden putih yang menutup kaca besar ruangan Allesa. Sedari subuh, bi Inah sudah bangun, begitu pula dengan Sehun. Bahkan lelaki itu tak tidur malam tadi. Alasannya hanya satu, ia tak mau melewatkan saat-saat Allesa membuka mata.

Sambil mengeringkan rambut yang basah dengan handuk karena baru mandi, Sehun membuka pintu ruangan Allesa. Dilihatnya bi Inah tengah memakai jilbab. Mungkin dia hendak beribadah. Pikirnya. Ia melanjutkan langkah menuju kursi di samping brangkar Allesa.

"Nah, pas banget. Bibi mau ke mesjid, Den," Ucap bi Inah yang baru sadar kedatangan tuan mudanya. Ia menatap cermin kecil sambil membenarkan jilbab.

"Udah tau belom dimana tempatnya?" Tanya Sehun.

"Udah, Den. Kemarin nyonya Suzy ngasih tau."

"Ooh, Okey. Hati-hati ya, Bi." Sehun tersenyum tipis.

Sehun masih duduk di tempatnya menatap bi Inah yang melangkah hendak keluar. Sehun rasa, dirinya butuh bantuan. "Bi ...," Panggil Sehun membuat Inah menatap. "Sehun minta tolong, Bi ... Tolong do'a in kesembuhan Allesa, ya ... Siapa tau Tuhan Bibi lebih cepet ngabulin Do'a umatNya daripada Tuhan Sehun." Sehun menatap sayu bi Inah, matanya terlihat berkaca-kaca sebab benar-benar ingin melihat Allesa bangun dalam waktu dekat ini.

Inah tersenyum dan mengangguk. "Iya, Den. Pasti, pasti bibi do'ain, tenang aja." Beberapa saat kemudian, ia membuka pintu lalu menghilang dibalik pintu yang sudah ditutup.

Sepeninggal bi Inah, Sehun memutar badan, 'tuk lihat wajah Allesa yang terlelap. Sehun menatap jendela besar yang tertutup horden putih, walau begitu, semburat oren bekas matahari yang muncul terlihat jelas dari tempatnya duduk.

Jika saja Allesa bangun dan menyaksikan bersama, mungkin ini moment terindah bagi Sehun. Mata yang terlihat lelah kini menatap gadis---yang di kepalanya dibalut perban---itu dengan sendu. Entahlah kapan perempuan itu bangun.

"Allesa ... Thankyou ya udah ngajarin Jovan banyak hal." Tutur Jovan.

"Allesa tempe ga? Gegara Allesa bisa bahasa Inggris waktu Allesa ngajarin Jovan dulu, Jovan jadi malu terus belajar sedikit-sedikit Bahasa Inggris biar ga malu lagi." Ada jeda dikalimatnya kala ia menutup mata sambil menarik nafas pelan sebelum akhirnya ia membuka mata berbarengan dengan helaan nafas.

"Dan lihat sekarang? Bahasa Inggris yang Jovan hafalin beneran kepake." Jovan tersenyum seakan tertawa.

"Mungkin kalo Allesa ga dateng dikehidupan Jovan, Jovan pasti masih jadi cowo penuh kekurangan yang dekil, kucel, bad looking, ga bening dan sinting." Jovan tersenyum, dalam benaknya terputar jelas bagaimana dulu kala ia dibully.

"Thank you very much for that. cuz you, i can feel how people respect, like and admire me. Gimana? Udah bagus ga pelafalan Jovan? Udah kaya orang bule ga?" Tersenyum meremehkan dengan jari tangan yang menyisir rambut, Jovan berharap Allesa bangun sebab kesal karena sikapnya.

Senyum dan gayanya sirna digantikan tatapan sedih dengan raut wajah yang tak terdefinisikan, di detik berikutnya, Jovan menunduk lalu terisak.

Ia sadar, jika ia tengah berbicara pada gadisnya yang tak mendengar dan tak memperhatikan. Ia sadar, Allesa ada diambang kematian. Ia sangat sadar dan tahu akan itu.

Thank You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang