Bab 11 | Perasaan yang Menyesakan

216 33 1
                                    

Saat Echa membuka mata, hal pertama yang ia dapati adalah bukan wajah tampan milik sang suami. Melainkan sebuah guling yang tergeletak di sampingnya. Sejenak alisnya mengerut, ke mana Satya pergi? Padahal saat ini masih pagi buta.

Tungkai jenjang itu akhirnya turun dari ranjang. Sepertinya ia bermaksud mencari Satya ke segala penjuru rumah. Namun, orang yang cari tak menunjukkan batang hidungnya.

Aneh, tak biasanya Satya pergi tanpa memberi kabar. Tiba-tiba Echa teringat pada mobil milik suaminya yang biasa terparkir di garasi. Dengan cepat ia melangkah lebar menghampiri jendela. Tangannya sontak bergerak menyibakan tirai, memastikan apakah tebakannya benar atau salah.

Setelah dirasa ia berhasil mendapatkan jawaban, Echa lantas mendengus sebal. Rupanya Satya telah pergi membawa serta mobilnya.

"Pergi kok bilang-bilang!" gerutunya sembari menutup tirai itu dengan kasar.

Akhirnya Echa memutuskan menjernihkan pikirannya dengan segelas air putih. Baru saja ia hendak membuka pintu kulkas, Echa langsung mendapati memo kecil yang tertempel di pintu itu. Segera tangannya meraih kertas tersebut, lalu membaca isi pesan singkat yang tertulis di sana.

Cha, maaf gak bangunin kamu dulu. Aku harus ke rumah sakit sekarang. Acha baru aja kena masalah.

"Dia lagi!" geram Echa seraya meremat kertas kecil itu, lalu membuangnya sembarangan. Sepertinya dia sudah muak ditinggal berkali-kali oleh suaminya, demi mengurusi wanita lain.

Kembali ibu dari satu anak itu menghela napas frustasi. Dia pikir Satya sudah lepas tangan dengan segala urusan yang berkaitan tentang adik kandungnya tersebut. Namun, dirinya salah. Ternyata lelaki itu masih menjadi orang bodoh dan terlihat plin-plan.

***

Setelah mengantarkan anaknya ke sekolah, Echa kemudian menyusul sang suami ke rumah sakit. Sebenarnya wanita itu masih terbakar api cemburu lantaran Satya kembali membagi perhatiannya untuk wanita lain. Walaupun begitu Echa tetaplah seorang kakak yang juga sayang kepada adiknya. Wanita itu masih memiliki sedikit rasa simpati terhadap masalah yang menimpa saudara kandungnya tersebut.

Saat ini Echa telah sampai di depan ruang inap yang akhir-akhir ini sering ia kunjungi. Tanpa basa-basi tangannya langsung memutar knop pintu, lalu mendorongnya pelan. Saat hendak masuk ke dalam, pergerakannya tiba-tiba terhenti.

Apa yang ia lihat sekarang, sukses membuat dadanya sesak seketika. Sejurus kemudian air matanya jatuh tanpa diintrupsi. Pemandangan di depan sana saat ini tengah menampilkan seorang Satya yang tengah memeluk adik kandungnya begitu erat.

Sejenak Echa mengeraskan rahangnya. Pegangan di knop pintu pun ikut mengerat. Perasaan marah, cemburu, dan kecewa bercampur menjadi satu. Akhirnya dia memilih meninggalkan ruangan itu tanpa berniat melabrak keduanya.

Lebih baik dirinya yang mengalah. Sebab dia tak ingin membuat keributan. Apalagi saat ini dia masih di lingkungan rumah sakit.

Tungkai jenjangnya kini menyusuri jalan setapak menuju taman. Beberapa detik kemudian, ia memutuskan singgah sejenak di salah bangku taman. Di sana Echa mulai melampiaskan kekesalannya.

Wanita itu menangis sampai air matanya seperti akan habis. Beruntung suasana di sekitar taman tampak lenggang. Sehingga ia tak perlu malu pada siapapun.

Setelah puas menangis, kini ia sudah kembali tenang. Jejak air mata yang mengalir pun telah ia usap dengan tisu yang selalu ada di dalam tasnya. Namun, sepertinya wanita itu tak ingin beranjak dari sana. Echa memilih duduk melamun sembari menikmati semilir angin lebih lama lagi.

Drrrt.. drrrt..

Tiba-tiba Echa berjingkat kaget lantaran ponselnya tiba-tiba saja bergetar. Tanpa banyak berpikir lagi, ia pun merogoh isi tasnya. Setelah menemukan apa yang ia cari, wanita itu hanya menatap layar ponsel tersebut.

Keningnya mengerut lantaran satu nama yang tertera pada layar itu. "Ibu Mertua", begitulah ia menamai kontak tersebut. Sedangkan dalam benaknya kini ia tengah bertanya-tanya, ada apa ibu dari Satya itu tiba-tiba menelpon?

Ah, mungkin karena mereka sudah jarang sekali bertukar kabar. Jadi beliau pasti kangen padanya atau mungkin pada Agni. Akhirnya jemari lentik itu menggeser tombol dial up ke atas. Sehingga sambungan telepon pun langsung terhubung.

Pada detik pertama, Echa bisa langsung mendengar kalimat sapaan hangat dari seseorang di ujung sana.

"Halo, Nduk. Gimana kabarmu?"

"Halo, Bu. Aku baik-baik saja. Mas Satya sama Agni juga sehat di sini," balas Echa tak kalah hangatnya.

"Alhamdulillah. Ibu senang dengernya."

"Ibu gimana? Sehat?"

"..."

Tak ada jawaban dari seberang sana. Hingga membuat wanita itu kembali mengerutkan alisnya. Sejenak ia mencoba memeriksa sambungan telepon. Barangkali mungkin jaringannya sedang bermasalah.

Sedetik kemudian Echa menyadari tak ada salah dengan ponselnya, semuanya aman. Namun, mengapa ibu mertuanya tak mau menjawab pertanyaannya? Apa pertanyaan yang ia ajukan telah menyinggung perasaan wanita itu?

"Bu? Ibu sehat 'kan?" tanya Echa sekali lagi.

Kali ini sang ibu mertua malah menghela napas panjang. Hingga dalam sekejap membuat Echa merasa khawatir. Sebenarnya akhir-akhir ini kesehatan ibu dari Satya itu tengah menurun.

Semenjak awal tahun, beliau mulai sakit-sakitan. Lebih jelasnya beliau terkena penyakit maag yang cukup parah. Jadi, hal inilah yang terkadang membuat Echa juga merasa khawatir.

"Bu-"

Ucapan Echa terputus tatkala sang lawan bicara tiba-tiba meminta satu hal padanya.

"Nduk, kapan kamu mampir ke Jogja? Ibu kangen sama cucu Ibu."

Kali ini malah berganti Echa yang tak bisa menjawab. Dia tampak tengah mengulum bibirnya sembari menimang-nimang jawaban yang tepat. Tentu ia tak mau mengecewakan ibu mertuanya itu.

Sebenarnya Echa tak merasa keberatan kalau hanya mengajak Agni ke Jogja untuk saat ini. Sebab gadis kecil itu baru saja selesai melaksanakan ujian akhir semesternya.

Namun, wanita itu sedikit keberatan mengajak suaminya. Apalagi mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Menurutnya, akan sangat sulit jika ia harus berpura-pura terlihat baik-baik saja di depan sang ibu.

"Nduk, sebenarnya Ibu gak mau cerita ini ke kamu. Ibu juga gak mau buat Satya khawatir, tapi Ibu baru aja periksa ke dokter."

Sekejap mulut wanita itu menganga lebar. Ternyata benar dugaannya. Kabar ibu mertua memang sedang tak baik-baik saja.

"Jadi maag Ibu kambuh lagi?"

"Iya, Nduk. Kamu tolong jangan cerita apa-apa ke Satya dulu ya! Cukup ajak anakmu atau kalau bisa suamimu juga. Ibu bener-bener pengen ketemu Agni sekarang."

Echa bergumam sejenak sembari memikirkan jawaban yang tepat. Namun, sejurus kemudian ia akhirnya menyetujui permintaan itu.

"Iya, Bu. Echa coba cari tiket keretanya dulu ya?"

"Iya, Nduk. Pokok Ibu tunggu!" pekik ibu senang.

Echa pun ikut senang. Setelah sambungan telepon tersebut berakhir, Echa bergegas bangkit dari tempat duduknya. Tanpa berniat kembali ke ruang rawat inap tadi, wanita itu langsung keluar dari area rumah sakit.

Sepertinya dia ingin menyiapkan keperluan yang akan ia bawa ke Jogja besok. Namun, sebelum itu ia harus menjemput Agni terlebih dahulu.

=TBC=

Cinta Salah Alamat | Sungjin Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang