Bab 28 | Menyesal atau Iri?

230 33 0
                                    

Sepulangnya dari Jogja, Satya sedikit demi sedikit mulai berubah. Dia sudah jarang terlihat mengurusi masalah yang berkatian dengan Acha. Mungkin masalah tersebut sudah dibebankan pada sang pengacara yang disewa adiknya. Malahan sekarang lelaki itu lebih sering menempel pada sang istri.

Satya juga sering terlihat menghabiskan waktu santainya di rumah. Jika biasanya dia pulang pada pukul enam sore dari kampus, lalu sampai rumah hampir larut malam. Maka sekarang sebisa mungkin dia harus sampai di rumah sebelum makan malam. Walaupun sebenarnya Satya harus rela membawa serta pekerjaannya ke rumah.

Seperti halnya sekarang, Satya tengah berkutat dengan setumpuk kertas di meja kerjanya. Tampaknya dia sedang mengoreksi hasil kuis dari para mahasiswanya. Tiba-tiba beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan dari luar.

Ceklek!

"Mas, mau kopi atau teh?" tawar seseorang setelah ia membuka pintu.

Rupanya Echa tengah mengintip ruang kerja yang khusus digunakan oleh Satya. Wanita itu baru saja kembali dari kamar anaknya. Berhubung Agni sudah tertidur pulas, jadi saatnya bagi Echa mengurus satu bayi lagi di rumah ini.

"Teh aja," balas Satya singkat tanpa melihat ke arah sang istri.

Echa tersenyum lebar melihatnya. Pemandangan seperti ini sangat ia rindukan. Dulu sebelum rasa cemburunya menyeruak kepermukaan, Satya memang sering menghabiskan waktu di ruangan ini. Sering pula Echa diminta untuk menemaninya sampai tak terasa dia sudah tertidur pulas. Hingga membuat Satya harus repot-repot memindahkannya ke kamar.

Ah, mengingat-ingat masa itu membuat Echa lupa akan tujuannya. Maka segera saja ia beranjak pergi dan membuatkan secangkir teh. Lima menit kemudian, Echa sudah kembali lagi. Dilihatnya Satya masih sibuk mencorat-coreti setumpuk kertas jawaban yang ada di hadapannya itu.

Echa menaruh teh tersebut agak jauh dari jangkauan tangan Satya, agar pergerakan suaminya tetap leluasa dan tidak sampai menyenggolnya.

"Mas, ini tehnya," ujar wanita itu kemudian.

Seketika Satya mendongakan kapalanya. Deretan kalimat pada kertas-kertas itu membuatnya hampir melupakan kehadiran sang istri. Maka segera ia membalas dengan senyuman lebar.

"Sini!" pinta Satya seraya menepuk pelan pahanya, seakan ia memberi perintah agar Echa segera duduk di pangkuannya.

Echa tampak bingung. Cukup lama dia bergeming di tempatnya. Hingga membuat Satya sudah tak bisa menunggu lebih lama lagi. Maka langsung saja lelaki itu menarik Echa agar duduk di atas pangkuannya.

"Lama," komentarnya. Pada detik berikutnya ia melanjutkan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda.

Sedari tadi Echa tak berani mengajak suaminya mengobrol. Dari raut wajahnya saja sudah dapat ditebak kalau dia sedang gugup. Menyadari hal tersebut, Satya malah semakin gencar menggodainya.

Lelaki itu sengaja merapatkan dadanya ke punggung si wanita. Kepalanya ia taruh di atas bahu pada sisi kanan dari sang istri. Tangan kanannya sibuk menari-nari di atas kertas. Sedangkan tangan kirinya tengah melingkar di atas perut wanita itu.

Deru napas lelaki itu terasa sampai ke tengkuk si wanita. Hingga membuat Echa semakin gelisah dalam duduknya.

"Mas," panggil Echa memecah keheningan dalam ruangan tersebut.

"Hm? Kenapa, Dek?" balas Satya yang kini telah mengalihkan pandangannya pada sang istri.

Ada satu hal lagi dari perubahan sikap sang suami yang baru disadari Echa. Satya akhir-akhir ini sering memanggilnya dengan sebutan "Dek" atau "Sayang" ketika mereka sedang berdua saja. Padahal biasanya lelaki itu hanya mau memanggilnya demikian saat sedang ada maunya. Seperti saat sedang merayunya di atas ranjang.

Cinta Salah Alamat | Sungjin Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang