Bab 18 | Dia Pergi Tanpa Kabar

245 28 1
                                    

Sekarang kita tinggalkan Echa dan Agni yang sedang menikmati waktunya di Jogja. Saat ini Satya baru saja selesai membantu Acha berkemas. Wanita itu pada akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Namun sayangnya, ia tak mau pulang ke rumah mewah tempat tinggalnya bersama dengan Wira. Wanita itu lebih memilih tinggal di rumah orang tuanya.

Kabar Wira menggugat cerai istrinya sudah sampai ke telinga Satya. Di hari mereka berpelukan yang sempat dipergoki Echa, saat itulah Acha menceritakan semuanya pada Satya.

Kala itu Acha masih syok dan butuh tempat untuk bersandar. Namun, bodohnya Satya malah tak keberatan sama sekali. Setelah mendengar cerita lengkapnya, Satya lantas menghubungi bapak dan menceritakan semuanya.

Tentu saja bapak marah pada Wira. Namun, Satya dengan cepat mencegah bapak agar tak perlu memperpanjang urusan ini dengan laki-laki angkuh tersebut. Sebab Acha sendiri sudah ikhlas akan bercerai dengan Wira.

"Udah semua 'kan?" tanya Satya yang kemudian diangguki oleh Acha.

"Ya udah, yuk!" ajak Satya seraya menggandeng tangan wanita itu. Sedangkan tangan yang satunya lagi tengah sibuk menggendong tas yang berisikan baju-baju Acha selama di rumah sakit.

"Mas, kita jadi pulang ke rumah Ibu 'kan?" tanya Acha cemas. Sepertinya dia takut kalau Satya akan mengantarnya ke rumah mewah itu.

Satya lantas mengangguk untuk meyakinkannya kembali.

"Iya, Ibu sama Bapak udah nunggu di rumah."

Acha tampak bernapas dengan lega. Dia lantas masuk ke dalam mobil. Sedangkan Satya terlebih dulu menyimpan tas yang ia gendong di dalam bagasi.

***

Sesampainya di tempat tujuan, kedatangan Satya dan Acha langsung disambut oleh Bapak dan Ibu. Mereka yang saat itu tengah berdiri di depan rumah langsung menghampiri putri bungsunya itu. Ibu sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia menangis di pelukan putrinya.

"Maafin aku, Bu. Acha udah gagal jadi istri yang baik," kata Acha di tengah-tengah suara tangisnya.

Ibu menggeleng kuat.

"Nggak, Nak. Kamu udah melakukan yang terbaik," balas Ibu seraya menghapus air mata di pipi putrinya.

"Kita masuk, yuk!" ajak Ibu sembari merangkul Acha. Mereka berjalan memasuki rumah. Sepertinya Ibu mengajak putrinya istirahat di dalam kamar. Walaupun kondisinya sudah membaik, Acha tetap tidak diperbolehkan banyak bergerak terlebih dahulu.

Di sisi lain, ada Satya dan Bapak yang saat ini tengah berbincang di ruang tamu. Sepertinya pembicaraan mereka terlihat sangat serius.

"Kamu yakin Acha udah ikhlas melepas lelaki itu?" tanya Bapak membuka obrolan di antara mereka.

Satya dengan mantap menganggukkan kapalanya.

"Benar, Pak. Acha udah minta tolong ke Satya untuk dicarikan pengacara," jelas Satya kemudian.

Bapak tampak menghela napas berat. Seketika pusing mendera kepalanya.

"Bapak senang-senang aja, kalo Acha mau melepaskan diri dari laki-laki brengsek itu. Tapi Bapak juga gak tega kalo seandainya Acha masih mengharap cinta darinya. Itu sama saja dengan menyiksa diri."

Satya paham dengan perasaan Bapak saat ini. Jika dia berada di posisi Bapak, sudah pasti dia merasakan hal yang sama. Kita tahu bahwa setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.

Bila menurut Bapak berpisah dengan Wira adalah keputusan yang terbaik. Maka belum tentu hal itu menjadi keputusan terbaik pula menurut anaknya. Bisa saja Acha mengaku ikhlas, tapi hatinya harus tersakiti karena masih mencintai lelaki itu.

"Ya sudah. Kamu boleh pulang. Kasihan Echa, dia pasti nyariin kamu," pinta Bapak.

Deg!

Seketika itu Satya baru menyadari kalau sedari kemarin dia belum mengabari istrinya sama sekali. Selama ini dia terlalu sibuk mencarikan Acha pengacara. Sehingga fokusnya sempat teralihkan.

"Iya, Pak. Satya pamit dulu," ucap laki-laki itu. Setelah mencium tangan Bapak, dirinya pun bergegas masuk ke dalam mobil.

Sembari sibuk menyetir, Satya berkali-kali mencoba menghidupkan ponselnya. Namun seberapa keras ia mencoba, dirinya tetap tak bisa.

Sejenak Satya menggeram kesal. Bagaimana mungkin dia lupa mengisi daya baterai ponselnya di saat situasi genting seperti ini?

Ah, jangankan hal sepele seperti itu. Bahkan untuk mengingat statusnya sebagai suami Echa saja dengan mudah ia lupakan.

***

Setelah memarkir mobilnya di depan rumah, Satya tampak harap-harap cemas. Apalagi saat dirinya mendapati suasana rumah yang terlihat lenggang. Tanpa babibu lagi, ia pun segera turun dari mobil.

Lelaki itu melihat gerbang rumahnya sudah digembok dengan rapat. Beruntung Satya selalu membawa kunci cadangan di mobil. Jadi, dia bisa masuk ke dalam.

Setelah membuka pintu rumah, tungkainya segera menyusuri setiap sudut rumah. Mulai dari ruang tamu, ruang tengah, dapur hingga kamar. Namun sayang, apa yang menjadi kecemasannya kini terbukti benar. Istri dan anaknya telah pergi dan meninggalkannya sendiri.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" runtuk lelaki itu sembari memukul pelan kepalanya.

Cukup lama Satya duduk melamun di meja makan. Pandangannya pun tampak kosong menatap telfon yang sengaja digantung pada dinding dapur. Sesaat kemudian dia baru ingat kalau ponselnya masih dalam keadaan mati.

Segera ia bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan ke luar rumah. Lelaki itu memilih untuk memasukkan mobilnya ke dalam garasi terlebih dahulu. Setelah itu ia baru membersihkan diri sembari menunggu baterai ponselnya terisi penuh.

***

Tiga puluh menit telah berlalu. Kini Satya sudah bisa menghidupkan layar ponselnya. Namun, perasaaannya kembali dibuat kecewa. Sang istri ternyata tak meninggalkan pesan sama sekali untuknya. Dia cuman hanya sempat menelponnya berulang kali.

Tanpa pikir panjang, Satya langsung menelpon balik istrinya itu. Dia yakin sekali kalau Echa dua hari ini sudah mencarinya ke mana-mana. Apalagi perasaannya mengatakan ada yang tidak beres di sini.

Cukup lama Satya menunggu, hingga pada akhirnya suara operator yang malah menyapa pendengarannya. Kembali ia mencoba lagi dan lagi. Namun, kali ini telepon itu tiba-tiba dimatikan.

Satya kembali geram. Dia marah pada dirinya sendiri. Mengapa dia sangat bodoh sekali sampai-sampai ia melupakan istri berserta anaknya?

Namun, di samping itu dia juga marah pada sang istri. Mengapa Echa pergi dari rumah sampai tak mengatakan apapun. Apa istrinya itu sangat marah karena dia terlalu memperhatikan adik iparnya ketimbang dirinya?

Ah, tidak! Satya rasa hal itu sudah selesai mereka bahas kemarin. Echa sudah memaklumi sikapnya. Jadi, tak perlulah wanita itu marah lagi sampai-sampai main kabur-kaburan seperti ini.

"Echa, kamu di mana sih sebenarnya?" ucap Satya lirih dengan nada putus asa.

=TBC=

Cinta Salah Alamat | Sungjin Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang