Gerbang besar rumah Anka terbuka ketika motor yang Anka dan Kara tumpangi sudah berada didepannya. Teknologi scane wajah itu berfungsi dengan baik, mungkin karena wajah pemilik rumah ini yang terdeteksi lebih dulu. Karena Anka yang berada didepan, dia yang menyetir motor.
"Ka... Pas gue kesini sendiri, kok gerbangnya juga kebuka? Awalnya gue kira lo yang bukain dari jarak jauh, tapi waktu itu lo lagi sibuk ngikutin Kevan. Bukannya mau ge'er yah, tapi Berarti wajah gue udah kedaftar dong sebagai wajah orang yang diizinin masuk? Padahal itu kunjungan pertama gue looh. Oh! Apa sebenernya gerbang ini cuma pake sensor aja? Bakal kebuka setiap ada orang yang datang? Kalo beneran cuma sensor aja, gue bakalan malu sih karena udah ge'er." Kara berbicara ketika Anka kembali melajukan motornya. Suasana di kawasan rumah Anka begitu tenang. Tidak ada keributan apapun disana. Suara dari mesin motor matic Karapun tidak terlalu nyaring. Membuat Kara tidak perlu berteriak selayaknya orang orang yang berbicara saat berpergian menggunakan motor.
"Rumah gue emang pake konsep IoT, perangkat perangkat dirumah gue udah gue program seperti apa yang gue pengen. Wajah lo emang udah kedaftar, makanya gerbangnya kebuka."
"IoT? Kaya pernah denger." Kara berfikir hanya demi menemukan tempat dimana dia mendengar kata yang tak asing itu.
"Pelajaran Komjardas (Komputer dan Jaringan Dasar) Karaa... Kok lo bisa jadi juara kelas padahal ga pinter?"
Kara langsung mengepret bahu Anka. Sedikit tidak terima dengan ucapannya yang seakan akan menuduh Kara menerima hasil yang tidak dia dapatkan dari usaha sendiri. Sebenarnya, Kara juga tidak tahu mengapa dia bisa jadi juara kelas di SMK, dia berfikir mungkin standar kecerdasan kelasnya saat ini memang buruk. Di SMPnya dulu, bahkan paling bagus Kara berada di peringkat 7, namun tiba tiba sekarang dia bertengger di peringkat 1. Menambah beban hidupnya saja!
"Ga salah sih lo kepilih buat prakerin di FG. Mungkin kalo lo ga banyak bikin masalah, lo yang juara satu. Disekolah kita cuma simulasi pake aplikasi Cisco, tapi lo udah bisa terapin pelajarannya ke perangkat dirumah lo. Lo Keren Ka!" Kara tidak jadi marah kepada Anka. Dia malah memuji laki laki itu sekarang.
Motor yang Anka kendarai ia parkirkan sembarangan saja. Toh tidak akan menganggu siapapun. Disini hanya ada dia dan Kara.
Kara turun lebih dulu dari motornya. Dia menatap kagum bangunan megah yang menjadi tempat tinggal temannya. Terakhir kali Kara kesini saat malam, tidak terlalu jelas untuk melihat dengan sempurna penampakan gedung ini. Sekarang jauh terlihat sangat cantik.
"Ayo masuk."
Ajakan Anka segera diangguki oleh Kara. Kara dengan yakin melangkahkan kakinya mengikuti Anka. Tidak ada rasa takut karena Kara hanya berdua dengan laki laki itu. Setelah dia tau Sarah sering berkunjung kesini dari tentara kenalan sepupunya, Kara menjadi lebih tenang berada didekat Anka. Dia pikir, selama ini Sarah baik baik saja berteman dengan Anka. Mungkin memang Anka tidak seburuk yang dilihat orang lain, dia sama seperti remaja seusianya yang membutuhkan hangatnya sebuah pertemanan.
"Nih pake." Anka menyiapkan sebuah Hoverboard untuk Kara. Laki laki itu sekarang bahkan sudah anteng diatas hoverboardnya.
"Nah, ini penting banget sih. Bisa gede betis gue kalo ga pake beginian." Kara juga naik keatas hoverboardnya, untung dia pernah menaiki benda ini sebelumnya, jadi dia tidak terlihat begitu bodoh didepan Anka.
"Pas gue kesini, rumah lo berdebu. Kok bersih banget sekarang? Lo ga mungkin bersihin semuanya sendirian kan?" Kara penasaran. Gedung ini terlihat berbeda dari yang terakhir Kara lihat. Suasananya tidak kelam seperti dulu.
"Ada pembersih harian." Anka menjawab, lalu dia menjalankan hoverboardnya. Membuat Kara mau tidak mau juga harus mengikutinya. Tidak mungkin Kara menentukan jalannya sendiri, bisa tersesat dia disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The School Of Criminals
Teen FictionIni tentang Anka. Dia adalah penghukum yang paling setara atas segala kejahatan warga sekolah lain yang merugikannya. Istilah 'Mata diganti mata...', itu berlaku dihidupnya.