42. Unfair

134 18 0
                                    

Tama pergi cukup jauh dari perbatasan, dia harus membantu beberapa temannya dari SMK Delamar yang kewalahan menghadapi musuh dari luar yang tiba tiba datang membuat keributan. Entah dari mana mereka, seragam sekolahnya tidak pernah dia temui sebelumnya. Saat Delamar memiliki Lerbi sebagai pentolannya dulu, hal semacam ini tidak pernah terjadi, jika memang keributan tidak bisa dihidari, mereka akan bertarung tanpa melibatkan murid lain yang tidak bersalah.

"Smaklar bener bener kacau. Anka yang dianggap terhebat, malah gak mau jadi pentolan baru, dan yang lainnya gak berani mengambil posisi itu karena ada dia." Tama rasa ini adalah efek samping dari Smaklar yang kini berjalan dengan netral tanpa memilih pemimpin. Sejak awal Lerbi menghilang, Tama adalah orang yang bawel tentang masalah jabatan yang ditinggalkan. Tanpa adanya seorang pentolan di kubu Smaklar, Tama pun jadi susah menentukan siapa yang harus dia hubungi ketika sekolahnya butuh bantuan mereka. Menghubungi Anka? Ke teman dekatnya saja dia terlihat tidak perduli. Lalu Abdi, pasti dia menyuruh Tama menghubungi Anka. Begitu saja seterusnya, tidak akan pernah selesai. Sekarangpun sebenarnya tidak ada yang menghubungi Tama untuk membantu membereskan masalah yang sedang terjadi ini, namun karena hubungan persahabatan yang telah terjalin secara turun temurun, saat mendengar Smaklar dalam kekacauan, Tama segera bergerak, hendak ikut membantu. Hubungan mereka dengan Smaklar masih sama berharganya seperti dulu, meski mereka berjalan netral, tanpa pemimpin, banyak sekali petarung hebat disana. Jangan dulu membicarakan tentang Anka si penghukum paling setara. Lihat saja teman terdekatnya seperti Abdi, Reyhan dan Fadli, mereka bertiga juga bukan orang orang yang bisa diremehkan.

"Tapi ini bisa jadi pemicu Anka nunjukin dirinya ga sih? Dia emang gak tertarik sama posisi pentolan, tapi dari kejadian kejadian dimasa lalu, Anka ini tipe yang gak suka liat orang sok jagoan. Apalagi mereka ini secara terbuka loh nantangin Anka. Dia gak mungkin diem aja."

Tama menggelengkan kepalanya. Dia tidak setuju dengan apa yang barusaja temannya bicarakan. "Lo tau ga? Kadang kalau musuh kita terlalu remeh, kita jadi males nanggapinnya. Anka sampai sekarang gak muncul, mungkin dia nganggap musuhnya kali ini juga begitu, bukan tandingan dia."

"Oh, jadi kalian tau banyak tentang Anka?"

Tama berfikir apakah ada suara temannya yang seperti barusaja dia dengar? Terasa asing ditelinganya.

"SEMUANYA! MEREKA TAU TENTANG ANKA!"

Saat Tama dan teman temannya membalikkan badan, beberapa orang sudah datang mengerubungi mereka. Termasuk orang orang yang sebelumnya Tama dan teman temannya mata-matai dari balik tempok sebuah apotek, mereka berkumpul, mengelilingi kelompok tama yang hanya berisikan 4 anggota saja.

"Sial. Kalo tau bakal begini gue ajak kelas sebelas." Tama merasa sedikit terintimidasi karena jumlah lawan yang tidak setara dengan kelompoknya. Dilihat dari lambang label sekolah pada seragam mereka yang berbeda beda, mereka dipastikan tidak berasal dari sekolah yang sama. Siapa yang memprovokasi semua sekolah ini untuk mencari Anka? Ini bisa memicu tawuran yang sangat besar.

"Mereka bukan anak Smaklar."

"Lo lupa sama yang 'dia' bilang? Kalo kita ngusik Smaklar, sodara jauhnya bakal datang. Mereka pasti anak anak SMA Dua Delamar."

Dua orang didepan Tama berbincang bincang. Mereka bahkan tau hubungan spesial antara Smaklar dan Smada, sedangkan Tama dan teman temannya, mengetahui daerah asal lawannya saja tidak tahu. Pertarungan ini tidak sebanding sejak awal, dari mulai jumlah dan banyaknya informasi yang diketahui. Tama tertinggal beberapa langkah.

"Lo tadi bilang Anka gamau keluar karena kita bukan tandingannya? Bener bener sialan berarti tuh anak. Kasih tau kita dimana dia sekarang!"

Tama tersenyum manis menanggapi lawan bicaranya. Entah Tama yang berprilaku sopan itu ingin mencegah keributan, atau ada maksud lain dibalik senyumannya itu.

The School Of CriminalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang