"Gue tinggalin mereka disekolah."
Seharusnya bukan masalah yang harus dipikirkan Kara, saat Anka menjawab pertanyaannya tentang apa yang dilakukan Anka kepada 5 kakak kelasnya itu setelah memukuli mereka. Namun jawaban itu keluar dari bibir Licio Angkasa Moraes. Seseorang yang membuat Kara tidak bisa berfikir sederhana tentang arti dari setiap kalimatnya.
Kara tidak meminta Anka mengantarnya sampai rumah. Hanya sampai mini market dikampungnya, sekalian membeli obat obatan untuk luka dibahu Anka. Setelah Anka pergi, Kara mengambil motornya dan kembali kesekolah.
Ekstrakulikuler yang memiliki jadwal hari inipun pasti sudah tidak ada kegiatan. Biasanya Ekstrakulikuler itu berlangsung sejak pulang sekolah sampai jam 5 sore saja. Sekarang sudah menunjukkan pukul enam sore. Sebentar lagi adzan magrib.
Dan disinilah Kara sekarang...
Sendirian dibangunan sekolah yang sudah benar benar ditinggalkan oleh para penghuninya.Ini bukan yang pertama kalinya untuk Kara. Sebelumnya bukankah dia juga sendirian kelapang Belanda yang terkenal angker? Sekarang hanya sekolah, bukan masalah besar baginya.
Kara berharap, apa yang dia cari tidak ada disini.
Kara terus berjalan mengelilingi sekolah saat tujuan pertamanya, yaitu tempat dimana Anka memukuli 5 kakak kelasnya, tidak ditemukan hal yang Kara khawatirkan.
Saat di koridor menuju kantin, sayup sayup Kara mendengar beberapa orang yang sedang berbicara. Sepertinya asal suara itu dari sana. Kara segera mempercepat langkahnya.
"Psyco gila! Kalo gue mati disini, gue tetep bakal balas dendam sama dia!"
"Gue bilang jangan buang sisa tenaga lo Nu. Lo bisa beneran mati."
"Lerbi udah sadar?"
Kara mendengar percakapan itu. Ternyata bukan dari kantin. Melainkan WC yang ada didekat sana.
Lagi lagi firasat Kara tentang Anka benar. Anka tidak pernah berbohong dengan kalimatnya. Dia benar benar meninggalkan kakak kelasnya disekolah. Hanya saja ada arti lain dari kalimat 'Gue tinggalin mereka disekolah' milik Anka.
"Ada yang datang!" Seseorang berseru dari salah satu bilik. Dia menyadari kehadiran seseorang dari derap langkahnya. Letak biliknya adalah yang paling luar.
Bug! Bug! Bug!
Pintu digedor dengan sekuat tenaga.
"Ankaa!? Itu lo ka? Ka plis kaaaa! Bukain pintunya! Kita gabakal ganggu lo lagi sumpah! Tapi tolong bukain pintunya, Lerbi udah gasadar! Dia bisa mati!"
Bug! Bug! Bug!
Tiga pintu lainnya menyusul menimbulkan suara bising. Anka menempatkan mereka di bilik yang berbeda beda. Membuat mereka hanya bisa saling berbicara tanpa bisa melihat langsung keadaan temannya masing masing. Saat salah satu dari mereka tidak merespon panggilan, yang lain hanya bisa merasa khawatir. Tanpa bisa memeriksa apalagi membantu.
Kara segera membuka slot pintu pintu yang terkunci dari luar. Membantu kakak kakak kelasnya yang sudah terkulai lemah. Dalam keadaan memiliki luka masing masing yang cukup serius, mereka malah terkunci diruangan sempit dan lembab seperti ini. Entah kalimat apa yang harus Kara ucapkan kepada Anka tentang ini. Dia begitu mengerikan.
"Ler! Lo gapapa kan Ler?" Zidan segera memeriksa keadaan temannya.
Lerbi ternyata sadar. Hanya saja dia tidak memiliki banyak tenaga untuk bersuara apalagi bergerak. Kepalanya sakit, darah mengalir mengotori bajunya, jari jarinya juga perih bahkan ketika tidak ia gerakkan, megeluarkan darah lebih banyak daripada kepalanya. Dia lemah karena terlalu lama menahan sakit. Ini semua adalah ulah dari adik kelas gilanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The School Of Criminals
Ficção AdolescenteIni tentang Anka. Dia adalah penghukum yang paling setara atas segala kejahatan warga sekolah lain yang merugikannya. Istilah 'Mata diganti mata...', itu berlaku dihidupnya.