Anka mengusap air matanya dengan tissu yang diberikan Kara. Mereka berdua kini berada di dalam sebuah rumah. Kara membawa Anka kesini agar lelaki itu bisa leluasa mengekspresikan dirinya, tanpa merasa terhalang oleh keberadaan manusia lain didekatnya. Dan benar, sejak tadi Anka menangis disampingnya, mengeluh dan bertanya apa yang salah dari dirinya. Kara tidak banyak berkata, yang dia lakukan hanya mengusap punggung lelaki itu, menemaninya sambil ikut menangis juga. Tapi sekarang masa itu telah berakhir, emosi Anka perlahan kembali normal, dia sudah berhenti menangis.
"Lo kok jadi cengeng?" Bukan ucapan Kara, malah Anka yang bertanya kepadanya. Itu karena Kara masih terus meneteskan air matanya disaat Anka yang memiliki masalahnya saja sudah berhenti menangis. Matanya juga sembab, sedikit memerah karena telah mengeluarkan air mata dengan jumlah yang cukup banyak.
"Bisa bisanya lo ketawain gue pas gue khawatirin lo!?"
Anka memang tersenyum saat menyadari keadaan Kara disampingnya. Ini yang pertama kalinya Kara terlihat berbeda. Dan itu cukup untuk menghiburnya.
"Serem aja disekolah. Taunya cuma cowo yang kalo nangis sampe sesegukan, meraung raung kaya bocah!" Kara mengejek. Dia mengambil tissu dimeja, mengeringkan pipinya yang basah karena air mata yang tiba tiba menjadi sia sia karena dikeluarkan hanya untuk makhluk menyebalkan seperti Anka.
Melihat Anka yang langsung terdiam karena ucapannya, membuat Kara kembali merasa bersalah. Dia buru buru mencari cara mengembalikan suasana. Bisa mati dia jika Anka marah.
"Engga kok! Lo tetep keren walau nangis gitu. Makin keren malah! Ganteng pula. Ga ngerti lagi dah, mau kaya gimanapun lo tetep keren ka! Serius..." Dengan wajah sembabnya Kara mengacungkan dua jempol dengan semangat untuk Anka. Dia menunggu reaksi Anka. Dan saat itu, Anka tiba tiba mengubah ekspresinya, dia menertawakan tingkah konyol Kara.
"Ih, ngeselin banget deh lo!" Kara mengepretkan tangannya kebahu Anka.
Anka dengan terang terangan menunjukkan wajah menyebalkannnya yang sedang tertawa kepada Kara. Dia seperti menemukan hal lain yang membuatnya menjadi kecanduan selain melihat orang lain menderita. Itu adalah wajah kesal Kara. Menganggunya adalah cara untuk Anka bisa memuaskan dirinya.
Hari sudah semakin gelap, orang orang dilingkungan rumah Kara telah kembali dari kesibukan mereka. Rumah rumah yang sebelumnya sangat sepi ketika Anka baru datang, kini berubah menjadi ramai, itu terlihat dari jendela yang menghadap kerumah rumah lain yang telah menyalakan lampu luarnya masing masing. Terlihat begitu hangat.
"Gue harus balik, orang rumah lo bakal pulang juga kan?"
"Gue tinggal disini sendiri."
"Hah?" Anka hanya terkejut dengan jawaban Kara. Untuk orang seperti Kara yang memiliki banyak pelindung, rasanya tidak mungkin perempuan ini tinggal sendirian.
"Ya ga bener bener sendirian sih. Satu kampung ini isinya keluarga gue. Dikeluarga gue semuanya udah dikasih rumah masing masing sama kakek gue. Dan ini rumah gue. Didepan itu, rumah kakak gue."
Anka tidak tahu ini normal untuk keluarga di Indonesia atau tidak. Tapi dari yang ia lihat dari kehidupan teman temannya, mereka tidak seperti Kara. Seharusnya diusia remaja seperti mereka ini masih tinggal satu rumah dengan orang tuanya.
"Kalo itu rumah siapa?" Anka menunjuk asal salah satu rumah yang terlihat dari jendela rumah Kara.
"Sepupu ke 5 gue. Dia sekolah di Smaklar loh, kelas sepuluh otomotif, temennya anak bos lo kan?"
Anka tidak tertarik dengan teman dari anak bosnya. Tidak penting juga menurutnya.
"Lo punya berapa sodara?" Itu yang lebih ingin Anka tanyakan. Berapa jumlah anggota keluarga ini hingga bisa membuat kampung sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The School Of Criminals
Teen FictionIni tentang Anka. Dia adalah penghukum yang paling setara atas segala kejahatan warga sekolah lain yang merugikannya. Istilah 'Mata diganti mata...', itu berlaku dihidupnya.