30. An Old Prayer

216 30 5
                                    

Hari ini yayasan sedang sangat sibuk. Bahkan anak PKL dari SMK Mahardika yang bekerja dikebunpun diberi perintah untuk membantu mempersiapkan aula bersama murid Smaklar.

Kara diberi tugas memasang dekorasi dari gambar hasil kerja anak anak panti asuhan disana. Dia tanpa ragu menggunting gambar gambar itu menjadi beberapa bagian.

"Kara. Kok malah kamu guntingin sih!? Itukan karya anak panti!" Bu Cici, salah satu staf yayasan yang melihat Kara sedang bertugas segera memprotes. Dia tampak kesal. Nada suaranya cukup keras sampai terdengar oleh orang orang yang ada didalam aula.

"Mampus dimarahin." Sabina menahan tawa mendengarnya. Ketika dia melihat ke beberapa temannya yang lain, merekapun sedang melakukan hal yang sama sepertinya. Sama sama merasa senang ketika ada anak SMK Delamar yang sedang dalam masalah.

"Saya motongnya pake pola puzzel bu. Jadi nanti pas ditempel ga cuma sekedar selembar kertas, biar ada pareasinya." Kara berusaha memberi pengertian. Berharap sekali salah satu pembimbingnya itu mengerti maksudnya.

Sabina memilih menghampiri Bu Cici dan Kara. Dia ingin lebih dekat melihat apa yang dikerjakan oleh murid dari sekolah unggulan itu.

"Nambah nambah pekerjaan gak sih bu kalo kaya gitu? Repot banget, ya kan?" Sabina malah menjadi kompor disana. Dia memancing emosi Bu Cici untuk kembali keluar.

Kara ingin bertindak, mungkin dia bisa menamparnya, memukul atau menendang. Tapi jika itu ia lakukan, orang akan semakin menganggapnya sebagai perempuan yang kasar. Belum lagi nanti dia kena sanksi dari Yayasan dan Sekolah, itu akan sangat memalukan.

Staff lainnya masuk keaula. Dia adalah Vito, staff paling muda di yayasan ini. Dia membawa air purifier yang besar, hendak menyimpannya disudut aula. Namun ketika melihat Kara, dirinya segera menyimpan air purifier itu didekat pintu masuk. Memanggil anak PKL terdekat untuk melanjutkan tugasnya.

"Simpen di sana..." Vito menunjuk salah satu sudut. "Ambil satu lagi di ruangan pimpinan. Ntar kamu taro di depan sana. Itu Kara kenapa?" Vito menyempatkan bertanya sebelum Elrio pergi untuk menjalankan tugasnya.

Elrio kembali melihat kearah Kara. Arah yang sebelumnya menjadi pusat perhatiannya. "Dimarahin Bu Cici. Kara motongin kertas kertas gambar anak anak panti." Elrio memberitahu apa yang dia tahu.

"Yaampun." Vito segera menghampiri perempuan yang tengah diperhatikan banyak orang itu. Dia juga menyuruh murid lain untuk kembali bekerja dan menghiraukan apa yang sedang terjadi kepada Kara.

"Bu... Jangan marahin Kara. Saya yang nyuruh dia potongin gambarnya. Kalo menurut ibu ini salah, marahinnya saya aja."

Kara mengangkat wajahnya untuk melihat salah satu pembimbing yang membelanya. Vito berbohong, dia tidak pernah memberi intruksi apapun, ini inisiatif Kara sendiri. Vito yang Kara tau selalu diam saat Kara bertugas dikantor, jarang bicara dengannya, namun tiba tiba dia berbohong didepan seniornya hanya untuk membela seorang anak PKL.  Orang lain harus belajar darinya, untuk sedikit berbicara dan langsung membuktikan dengan tindakan.Vito kini terlihat keren dimata Kara.

"Oh Vito yang nyuruh. Kalo gitu ga masalah sih, Vito pasti tau yang terbaik buat acara ini. Saya takutnya Kara sembarangan guntingin karya anak panti, itukan gak baik. Yaudah lanjutin aja kalo gitu..." Saat Bu Cici mengalihkan pandangannya, matanya menangkap seseorang diambang pintu yang membuatnya harus segera menghampirinya.

"Yaampun, Donatur kita udah datang ternyataa..."

Kara menatap tajam bu Cici yang kian menjauh. Dia sangat kesal. Tapi tentu saja Kara tidak akan melakukan hal buruk terhadapnya. Kekuatan maksimal Kara ketika membenci seseorang hanya sampai menajamkan tatapan matanya saja. Tidak pernah lebih.

The School Of CriminalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang