Lucca terpana melihat banyak bingkisan yang sudah disiapkan oleh Anka untuk dibagikan kepada anak anak panti dan beberapa staf yayasan ini. Dalam 1 bingkisan terdapat 1 jaket kulit saint laurent, topi acne studio, jam rolex dan sepatu nike. Jika Lucca totalkan hanya dari 1 bingkisan saja, itu mungkin sudah seharga satu unit rumah.
Bingkisan yang Lucca punya untuk didonasikan hanya berisi 1 dus coklat dan 1 kaos hitam polos saja. Harga dirinya mau dikemanakan didepan Anka sekarang!?
"Kok diem? Sana mulai acaranya!" Anka memerintah ketika sadar bahwa Lucca hanya berdiri disampingnya tanpa melakukan apa apa.
Liburan akhir tahun ini, Lucca tidak ingin pergi kenegara manapun. Setelah dia menguping percakapan Anka yang berencana menjadi donatur disebuah yayasan, Lucca memutuskan untuk melakukan kerja sosial juga. Namun dia tidak pernah menyangka pemberian Anka jauh lebih bekali kali lipat banyaknya daripada pemberiannya. Padahal Lucca sudah cukup kesulitan meminta anggaran kepada papahnya untuk membuat bingkisan miliknya ini. Kakak kelasnya ini mendapatkan banyak uang dari mana sebenarnya? Latar belakang keluarganya seperti apa?
"Lucca Jiano!"
Lucca tersentak. Mengerikan sekali suara Anka yang memanggil namanya dengan lengkap.
"Ah iya kak! Gue bakal mulai." Lucca segera memasang apron pada tubuhnya. Dia akan menjadi kepala koki saat ini, mengajarkan para anak panti untuk bisa memasak cake sederhana menggunakan resepnya.
Setelah Lucca maju ke tengah aula, berdiri didekat mejanya yang dipenuhi bahan dan alat membuat cake, dia segera membuka acara dan memberikan sedikit ilmu yang dia punya dalam membuat makanan.
Anka memerhatikan sebentar interaksi Lucca dan anak anak panti yang menikmati kegiatan yang dibuat Lucca itu. Tak lama Anka memilih keluar dari Aula. Tidak ada yang menarik perhatiannya untuk lebih lama disana.
Anka melihat ada sebuah lapang basket didekat sana. Dia memilih diam dipinggir lapang, duduk disebuah bangku yang biasanya disediakan untuk pemain cadangan tim basket.
Yayasan ini cukup luas. Ada kolam ikan besar juga yang bisa Anka lihat dari tempatnya beristirahat ini. Anka melihat beberapa orang keluar dari Aula. Mereka adalah anak PKL dari sekolah lain yang menjadi rekan kerja teman temannya disini. Jumlah mereka 2x lipat dari kelompok Kara, semuanya menuju kelapang basket yang Anka singgahi saat ini.
"Main basket yuk Fin." Seorang perempuan mengajak temannya.
"Kaya yang bisa aja lo!"
"Gapapa ihhh."
"Ayo cepet, lawan gue." Salah satu teman laki lakinya menyaut.
"Tuh ayo Fin... TIARA!!! TERE!!! MICELL!!! Ikut main basket yuk! Kita kalahin si Edwin!"
Sambil memerhatikan perempuan yang dimatanya tengah cari perhatian, Anka membuka bungkus rokok yang dia punya. Dia mengeluarkan sebatang rokok disana, membakar salah satu ujungnya, lalu ia hisap rokok itu tanpa canggung sedikitpun.
"Hey bro. Lagi ngerokok lu?"
Anka menyodorkan bungkus rokoknya kepada seorang lelaki yang menyapanya. Tanpa menjawab pertanyaan yang sebenarnya sudah dia tahu jawabannya.
"Gak deh bro, makasih. Gue masih punya atitude untuk gak ngerokok di lingkungan yayasan kaya gini."
Anka terkekeh kecil. Bisa bisanya dia mendengar kalimat seperti itu dari orang yang baru dia temui.
"Coba lo ngomong kalimat tadi lagi didepan bapak itu." Anka menunjuk seorang bapak bapak yang juga tengah menghisap rokoknya didekat tangga menuju taman. Bapak itu bukan sembarangan orang, dia adalah pimpinan yayasan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The School Of Criminals
Teen FictionIni tentang Anka. Dia adalah penghukum yang paling setara atas segala kejahatan warga sekolah lain yang merugikannya. Istilah 'Mata diganti mata...', itu berlaku dihidupnya.