"Eihh... Lo malah buat gue terlihat seperti pelakunya. Lo yang bunuh Lia kan?" Pertanyaan Anka langsung mendapat respon cepat dari Milly. Temannya itu memelototkan matanya.
"Bukan gue! Lo gila yah!?"
"Kalo bukan lo kenapa lo harus ngelindungin pelakukanya!? Lo juga terlibat! Masih belum sadar sama posisi lo!?"
Milly menggelengkan kepalanya. "Bukan gue! Gue gak bunuh Lia! Gue juga takuutt..."
Anka mengeraskan rahangnya. Dia memegang bahu Milly dengan sangat kuat, memberinya sedikit rasa sakit.
Perempuan itu memang ketakutan mengetahui pelakunya masih bebas berkeliaran, namun anehnya, kesaksian yang bisa membuat pelaku itu ditangkap, malah tidak Milly ucapkan. Entah ada apa yang salah darinya?
"Lo bakal kehilangan apa sampe lo gamau jujur kaya gini? Apa itu sebanding sama nyawa temen lo?"
"A. Anka... Sakiit..."
Ringisan Milly membuat Anka semakin menguatkan cengkramannya. Melihat ekspresi seseorang yang sedang kesakitan membuat Anka penasaran. Mungkin karena Anka tidak bisa merasakannya, jadi dia menjadikan orang lain sebagai objek pengamatannya terhadap rasa sakit.
"Lo mau jujur ke gue sekarang, atau tunggu tulang lo patah?" Anka tersenyum ketika air mata Milly mulai bercucuran.
Milly akhirnya memilih untuk jujur. Anka senang, namun dia sedikit sedih juga harus menghentikan tindakannya itu.
Ketika Anka melepaskan cengkraman dari bahunya, Milly langsung terduduk lemas diatas lantai. Badannya bergetar. Ketakutannya terhadap Anka semakin bertambah.
"Lo mungkin berharap ada yang bakal nyelamatin lo. Tapi Mil, penyelamat lo sebenernya adalah gue." Anka berbicara sambil menyalakan rokok ditangannya. Dia akan memberikan sedikit waktu untuk Milly merangkai kata katanya.
"Gu.. gue yang sebenernya jadi taget pembunuhan itu..."
Anka yang sebelumnya menunggu Milly selesai menangis dengan duduk diujung kasur segera mendekati Milly kembali. Dia berjongkok tepat didepan Milly.
"Gue... Gue udah nyinggung perasaanya."
"Emangnya lo lakuin apa?"
Drtttt...
Drtttt...Tepat setelah Anka mengajukan pertanyaanya, handphone dan sebuah layar di dinding menyala. Tanda ada orang yang ingin masuk kerumahnya.
Anka bergegas melihat layar di tembok ruangan, ada sebuah mobil polisi didepan gerbang sana.
"Aish! Lo tunggu disini!" Anka menghembuskan nafas beratnya. Setelah dia memberi perintah, Anka segera pergi menuju pintu utama rumahnya.
Anka sudah menekan perintah di handphonenya untuk membuka gerbang, dia membiarkan para polisi itu masuk. Anka tidak berniat menyembunyikan apapun, dia hanya sedikit kesal polisi polisi itu datang disaat yang tidak tepat.
Pintu utama rumah terbuka. Anka telah berdiri menyambut kedatangan para polisi itu. Ekspresi yang Anka tunjukkan tidak berarti apa apa, kagetpun tidak, dia terlihat selalu tenang seperti sebelum sebelumnya.
"ANKA!!!" Detektif Patra berteriak. Dia segera menarik baju Anka, membuat Anka tersudut sekarang.
"Dimana kamu nyembunyiin Milly!?"
"Nyembunyiin?" Masih dengan sikap tenangnya, Anka bertanya.
"Saya cuma 'bawa' Milly berkunjung." Anka memberi penjelasan yang membuat detektif Patra semakin murka.
"Berkunjung!? Kamu suntik bius kedia apa itu yang kamu maksud dengan 'ajak' dia berkunjung!?" Detektif Patra terus menarik kerah baju Anka. Posisi mereka sedekat itu, bisa saling memberi ancaman secara bergantian. Meskipun Anka terlihat biasa saja, matanya dipenuhi kebencian yang dapat Patra rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The School Of Criminals
Teen FictionIni tentang Anka. Dia adalah penghukum yang paling setara atas segala kejahatan warga sekolah lain yang merugikannya. Istilah 'Mata diganti mata...', itu berlaku dihidupnya.