"BUKA!"
"Lufi buka pintunya!"
Lufiana terlonjak kaget kala pintu kamarnya diketuk tak wajar. Ia baru saja selesai mandi dan kini tengah memakai pakaian.
Cepat kilat Lufi memakai kausnya, kemudian melangkah ke arah pintu. Ia menekan ibu jari di gagang pintu guna membukanya.
Dahi gadis itu berkerut samar saat melihat Lucian berdiam di depan pintu dengan gaya bersedekap dada.
"Kenapa Luci?" Tanya Lufi lembut.
Lucian tak mengubris, lelaki itu menerobos masuk ke dalam kamar Lufi. Membaringkan tubuhnya diranjang empuk gadis itu.
"Mulai malam ini, aku tidur disini!"
Mata Lufi melebar, ia segera menyusul Lucian ke tepian ranjang. "Apa?! Tidak! Lelaki dan perempuan tidak boleh tidur bersama, kalau bukan suami istri!"
Lufi menarik lengan lelaki itu agar bangun. Susah payah usahanya tak membuahkan hasil, Lucian sangat berat.
Lucian menatap Lufi nyalang, tangan kanannya di tarik paksa oleh Lufi. Lucian sebetulnya tak masalah, tenaga gadis itu begitu kecil. Namun tingkat Lufi benar-benar membuatnya marah. "Kau tak mau?!"
Lufi melepaskan tarikannya, gadis itu menunduk menatap lantai, ia tak suka dibentak. "Um baiklah, aku akan tidur di sofa saja."
Lufi berbalik langkah menuju sofa panjang dekat situ, matanya berkaca. Lufi harus bersabar, karena bagaimana pun ini adalah rumah milik orang lain. Lufi seharusnya bersyukur, masih ada orang yang mau menampung dan merawatnya.
Gadis itu berbaring meringkuk memeluk lututnya sendiri, posisinya memungunggi Lucian di ranjang. Tidak ada bantal dan selimut, tak apa Lufi berusaha tahu diri.
Hanya butuh waktu tiga puluh detik, gadis itu mendengar suara derap langkah mendekat ke arahnya.
"Bangun." Lucian berkata lebih lembut. Lelaki itu kini berdiri menjulang di sisi sofa, menjulurkan tangan berharap Lufi menyambutnya.
Lufi mendongak. Gadis itu mengigit kuat bibir bawahnya meredam isakan. "Ak-aku disini saja," ia menggeleng, memalingkan wajahnya menghindari tatapan tajam Lucian.
Lucian menghela nafas sabar, ia berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Lufi. Tangan lelaki itu mengusap sayang rambut Lufi. "Sudah jangan menangis, aku tidak suka melihatmu seperti ini."
Lufi menggeleng, tubuhnya masih membelakangi lelaki itu. Isak tangisan berasal darinya semakin terdengar jelas. "Aku menangis bukan karenamu, ak-aku ... hanya merasa selalu merepotkan orang lain. Harusnya aku bekerja saja lalu membeli rumah sendiri, bukan menumpang di rumahmu seperti ini."
Lucian mengapit tangannya di lekuk leher dan lutut Lufi, menggendong lalu membaringkannya di ranjang. Lucian ikut pula berbaring di samping, membawa tubuh mungil Lufi ke dadanya untuk didekap. Satu tangan Lucian mengelus tenang rambut dan punggung Lufi yang bergetar.
"Aku tidak mengijinkanmu bekerja. Kau hanya perlu ada di sampingku setiap saat. Tak boleh membantah, tak boleh pergi. Dengan itu, aku akan menuruti semua permintaanmu." Kata Lucian tegas.
Lufi mendongak menatap manik Lucian, gadis itu sedikit terkejut atas ucapan Lucian. Ada rasa senang muncul begitu saja, terasa menggelitik perut dan hangat dalam waktu bersamaan.
"Kalo gitu, aku ingin permen kapas." Pinta Lufi dengan puppy eyes lucu.
Lucian mengangguk, tangannya tak henti terus mengusap rambut gadis itu.
Lufi tersenyum senang. "Terima kasih."
Gadis itu repleks memeluk tengkuk leher Lucian— saking senangnya, membuat sang empu terdorong lebih dekat. Hidung mereka menempel, deru nafas keduanya saling menerpa. Jika bergerak sedikit saja, dapat dipastikan bibir mereka bercumbu padu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUFICIAN
Romance• SEBAGIAN PART DI PRIVAT! TERBUKA BILA MEM-FOLLLOW. • FOLLOW DULU BARU BACA. !! WARNING 21+ !! • MENGANDUNG BAHASA KASAR, KEKERASAN DAN SEKSUALITAS. • HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. _________________________________________ Lucian Dhe Costra, kembal...