XXXI

6.2K 309 11
                                    

"No-Nonna ... "

"Iya. Aku Nonnamu, Lufi." Bahu Emeline bergetar hebat diserati isakan kecang saat tubuhnya mendekap tubuh mungil Lufi.

Lufi bergeming. Gadis itu berusaha mencerna dengan benar apa yang dimaksud Nenek Eric itu. Dari dulu, Lufi memang sudah memanggilnya dengan sebutan Nonna, sebab ibunya bekerja di mansion ini. Oleh karena itu, Emeline sudah menganggap Lufi seperti bagian keluarga Miller juga. Lufi pun, tak pernah sungkan memanggilnya dengan sebutan itu.

"Aku sangat merindukanmu, Lufi. Kenapa kau tidak pernah mengunjungiku lagi, huh?!" Emeline mengurai pelukan. Ia menatap Lufi dengan wajah senjanya yang memerah akibat tangisan. Emeline menunjukkan raut wajah sedih bercampur kesal.

Lufi tersenyum kikuk. Matanya mengedar melirik Eric. Bibir gadis itu bergerak memberi kode pada Eric agar membantunya.

Eric menaikkan kedua alis dengan bahunya acuh. Seolah tidak peduli, lelaki itu lebih memilih duduk di sofa.

Emeline menuntun Lufi beranjak untuk duduk. "Kemari, kemari. Apa kau sudah makan? Apa kau lelah? Bagaimana perjalananmu tadi, sayang? Apa jalanan macet?" Wanita paruh baya itu menodong Lufi dengan pertanyaan.

Lufi duduk di samping Emeline. Ia hanya bisa mengangguk lau menggeleng kemudian mengangguk lagi. Lufi masih setia tutup suara.

Emeline berdecak. "Apa setelah Anna mati, kau berubah jadi bisu?!"

Lufi menggeleng keras. "Ti-tidak, Nonna. Aku, um ... hanya sedikit ca-canggung." Lufi merunduk, menatap lantai marmer abu di bawahnya.

"Hei, sayang." Emeline menangkup wajah Lufi, membawanya ke atas. "Kenapa menunduk? Tetaplah luruskan wajah cantikmu ini, Lufi."

Eric menatap geram neneknya yang terus saja membuat Lufi canggung. "Berhentilah menggodanya, Non. Lufi sedang hamil, bagaimana jika dia stress?"

Emeline membulatkan matanya. "Apa?! Hamil?!"

Eric menggerakkan kepala. Lelaki itu tanpa rasa bersalah, menarik pinggang Lufi merapat ke tubuhnya. "Sudah 4 bulan kan, kehamilanmu, Lufi?"

"I-iya." Lufi menjawab dengan cicitan.

"Sialan. Si tengik Lucian itu, harusku sunat lagi!" Ucap Emeline murka.

Eric terkekeh renyah. Hubungan Emeline dan cucu pertamanya itu, tidak pernah akur.

Lufi menatap Emeline yang berwajah kesal. Apa Nonna kenal Lucian? Mengapa Nonna bisa tahu? Ah, siapa juga yang tidak mengenal Lucian. Lelaki itu berprofesi sebagai pengusaha muda sukses yang merangkap menjadi penerus ketua mafia.

"Kau bingung, kenapa Nonna bisa tau Lucian?" Bisik Eric. Lufi mengangguk iya.

Eric menyeringai. Bibirnya terbuka kecil meniup lubang kuping Lufi yang tepat ada disisinya. Gadis itu nampak bergerak kerut— merinding, merasakan sapuan udara halus menerpa titik sensitifnya.

"Lucian, cucu pertama Nonna."

Lufi secepat kilat menolehkan wajah.

Cup

Terjadilah hal tak terduga. Pipi Lufi terasa hangat oleh benda kenyal nan basah milik Eric.

Astaga! Eric mencari kesempatan dalam kesempitan!

"ERIC!"

Eric terbahak. Lelaki itu memundurkan kembali wajahnya dari sisi Lufi.

Lufi memberengut kesal. "Bercandamu, keterlaluan!" Lufi memanyunkan bibir mungilnya, serta tangan terlipat di dada. Seketika Lufi lupa akan hal yang membuatnya terkejut.

LUFICIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang