XXIX

6.5K 347 24
                                    

Satu minggu berlalu. Setelah pengakuan Egan pada Ema dan Roger, membuat keadaan semakin rumit tak terkendali.

Lucian telah mengetahui semuanya. Lelaki itu murka, dan tentu saja ia menerjang Egan membati buta, melanjutkan hasil karya Roger kala itu. Berbeda dengan Lufi. Ia tidak tahu-menahu satu ulasan pun. Lufi hanya tahu, Egan adalah pamannya Lucian.

Setelah berunding bak konfrensi meja bundar. Lucian, Roger dan Egan telah sepakat membuat suatu perjanjian rahasia, terkait kehidupan Lufi.

Lufi berjalan dengan langkah pelan menuju ruang bertuliskan 'CEO Room'. Lufi akan mengunjugi Lucian di kantornya. Lucian baru saja masuk kantor semenjak satu bulan lalu memilih untuk bekerja dirumah. Lucian berjanji akan menemani Lufi check up rutin kandungannya, hari ini.

"Luci." Panggil Lufi saat membuka pintu ruangan Lucian.

Lucian berdiri memunggungi Lufi. Lelaki itu nampak sibuk dengan kertas berada di tangan dan ponsel terapit di telingannya.

Lufi mendekati Lucian. Tangannya terulur memeluk lelaki itu dari belakang. Lufi menempelkan pipinya di punggung kokoh Lucian.

"Luci, kau sibuk ya?"

Lucian menutup sambungan telepon, memasukkan benda canggih itu ke saku. Lucian sebenarnya tahu Lufi masuk dan bergerak memeluknya.

Lucian membalikkan tubuh, tersenyum hangat walau bersimpangan dengan wajah letihnya. "Sedikit."

Masih dengan tangan memeluk tubuh Lucian. Lufi mendongak menatap manik tajam Lucian. Ibu hamil itu menampilkan wajah gemas dengan pipi menggembung serta bibir terlipat. "Lucian. Kau tidak lupa kan?"

Lucian tersenyum kemudian menggeleng. Satu tangan Lucian yang terbebas dari kertas kerjaan, meraih anak rambut Lufi, menyelipkannya di belakang telinga.

"Tidak. Kau sudah buat janji dengan Dokter Sha?"

Lufi mengangguk semangat. "Sudah."

Lucian membimbing Lufi ke kursi kebesarannya. Lelaki itu duduk terlebih dulu, lalu menarik Lufi agar duduk di pangkuannya. Lucian menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Lufi, menghirup rakus wangi vanilla bercampur peach favoritnya dari tubuh gadis itu.

"Luci, um ... pekerjaanmu masih banyak?" Tanya Lufi hati-hati. Pasalnya, berkas yang menggunung masih setia berada di atas meja kerja Lucian.

Lucian bergumam menimpali pertanyaan Lufi. Lelaki itu masih dengan posisi sama, tangannya pun melingkari sesekali mengelus perut Lufi yang sudah membuncit.

"Tunggu sampai jam makan siang. Tidak apa-apa kan?"

Lufi menggeleng. Tangan gadis itu penasaran membuka tumpukan kertas yang menggunung di depan. Lufi bergidik ngeri membaca tulisan-tulisan panjang berbahasa asing.

Lucian membiarkan kegiatan Lufi. Ia malah semakin mendusel hidungnya di ceruk leher gadis itu. Men-charge energi dengan cara bersentuhan bersama kulit halus Lufi.

"Luci, setiap hari kau seperti ini? Memeriksa berkas dengan bahasa asing?"

Lucian menggerakkan kepala iya. "Pusing kan?"

"Iya, aku bahkan tidak bisa membaca keseluruhan." Lufi menyengir mengingat kapasitas otaknya yang kecil, tidak akan mampu menampung pelajaran sulit seperti itu.

Lufi mengubah posisinya menjadi miring. Ia menyimpan jemari kecilnya di dada bidang Lucian, membentuk pelan pola abstrak disana. Maniknya menatap Lucian ragu.

"Luci, aku um ... in-ingin melanjutkan sekolah. Boleh?"

Pergerakan Lucian yang tengah mengelus perut Lufi terhenti. Lelaki itu terkekeh devil, matanya berubah gelap. "Sekolah? Apa ada sekolahan yang menerima ibu hamil?"

LUFICIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang